OLEH: Khoeri Abdul Muid
Apakah pernah terlintas di pikiranmu bahwa pengorbanan tanpa pamrih bisa membuka jalan tak terduga dalam hidupmu?
Di sebuah desa kecil yang damai, Ahmad dikenal sebagai siswa teladan. Dia selalu membantu siapa saja, tak peduli seberapa lelahnya dia. Tapi, seperti gelas yang terlalu penuh, hatinya mulai retak. "Kenapa tidak ada yang menghargai?" pikirnya berulang kali.
Hari itu, Ahmad baru selesai mengerjakan tugas kelompok. Ia yang bekerja paling keras, tapi teman-temannya malah sibuk bercanda. Ketika presentasi selesai, mereka mendapat tepuk tangan meriah, dan semua pujian mengarah kepada Hamid, salah satu temannya yang hanya bicara di depan.
"Luar biasa, Hamid! Hebat sekali!" ujar guru mereka. Ahmad hanya tersenyum kecil, tapi dadanya sesak.
Di sore yang mendung, Ahmad duduk di serambi masjid sambil menatap kosong ke arah jalanan. Ustaz Karim, guru ngajinya, muncul dengan langkah pelan. "Ahmad, kamu kenapa? Wajahmu seperti menanggung dunia."
Ahmad menunduk. "Ustaz, saya capek. Saya kerja keras, tapi orang lain yang dapat pujian. Apa gunanya semua ini?"
Ustaz Karim tersenyum bijak, lalu mengeluarkan kitab Ta'lim al-Muta'allim dari tasnya. Ia membuka sebuah halaman dan berkata, "Ikhlas adalah melakukan sesuatu hanya untuk Allah, tanpa peduli pujian dari manusia."
"Tapi Ustaz, rasanya tidak adil. Bukankah wajar kalau saya ingin dihargai?" tanya Ahmad, hampir menangis.
"Ahmad, ingatlah ini: dunia ini bukan panggung untuk mencari tepuk tangan manusia. Kalau kamu melakukan sesuatu hanya karena Allah, pujian manusia tak akan berarti apa-apa."
Kata-kata itu menancap di hati Ahmad. Malam itu, ia tak bisa tidur. Ia tahu Ustaz Karim benar. Tapi, bagaimana caranya benar-benar ikhlas?
Di sekolah, guru mereka mengumumkan rencana besar: mereka akan membuka perpustakaan desa. Setiap siswa diminta menyumbangkan buku terbaik mereka. Ahmad melihat rak kecil di kamarnya, penuh dengan buku-buku kesayangannya. Setelah lama berpikir, ia memutuskan untuk menyumbangkan semuanya.
"Semoga bermanfaat," bisiknya sambil menyerahkan buku-buku itu.
Namun, beberapa hari kemudian, sebuah pengumuman membuat darahnya mendidih. "Terima kasih kepada Farid yang telah menyumbangkan banyak buku berkualitas untuk perpustakaan kita!" seru kepala sekolah. Ahmad terkejut. Farid berdiri di depan, menerima tepuk tangan dari semua orang.
"Buku-buku itu milikku!" Ahmad ingin berteriak, tapi ia teringat nasihat Ustaz Karim: "Ikhlas adalah ujian hati."
Ahmad menahan sakit hatinya. Ia memilih diam.
Seminggu kemudian, sebuah insiden kecil membalikkan keadaan. Saat kepala sekolah sedang menyusun buku di perpustakaan baru, ia menemukan catatan kecil di salah satu buku: "Semoga ilmu ini bermanfaat. -- Ahmad."
Keesokan harinya, Ahmad dipanggil ke ruang kepala sekolah. "Ahmad, kenapa kamu tidak bilang buku-buku itu milikmu?"
Ahmad tersenyum kecil. "Karena saya ikhlas, Bu. Saya tak butuh orang tahu."
Kepala sekolah tertegun. Saat upacara bendera, nama Ahmad diumumkan sebagai siswa teladan, bukan karena sumbangannya, tetapi karena ketulusannya. Seluruh siswa bertepuk tangan meriah, termasuk Farid, yang terlihat menunduk malu.
Setelah upacara, Farid mendekati Ahmad. Dengan suara pelan, ia berkata, "Maafkan aku, Ahmad. Aku tahu aku salah." Ahmad tersenyum dan berkata, "Tak apa, aku sudah memaafkanmu."
Sore itu, Ahmad kembali bertemu Ustaz Karim di masjid. Ia menceritakan semuanya. Ustaz Karim tersenyum dan berkata, "Lihatlah, Ahmad. Ketika kamu ikhlas, Allah yang akan mengatur semuanya. Pujian manusia hanyalah bonus. Yang terpenting, hati kita tetap bersih."
Ahmad tersenyum penuh syukur. Ia menyadari bahwa ikhlas bukan hanya tentang melepas, tapi juga tentang mempercayai bahwa Allah selalu memiliki rencana terbaik.
Ikhlas adalah keajaiban yang datang dari hati. Ketika kita berhenti mencari penghargaan dari manusia, kita akan menemukan kedamaian yang tak tergantikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H