OLEH: Khoeri Abdul Muid
(Kemarahan bagaikan melempar bara api kepada orang lain. Sasaran kita belum tentu kena, tetapi kita sendirilah yang tersakiti lebih dulu.)
Malam itu, desa yang biasanya tenang dikejutkan oleh kobaran api dari rumah di pinggir jalan. Warga berkerumun, saling berbisik tentang tragedi yang baru saja terjadi. Di tengah kepulan asap, mereka menemukan Asti duduk bersandar di dinding, matanya kosong menatap telapak tangannya yang memerah.
"Apa yang kau lakukan, Asti?" tanya Pak Lurah, nadanya lebih cemas daripada marah.
Asti menatap Pak Lurah, suaranya pelan, hampir seperti gumaman. "Aku hanya ingin membuatnya merasakan... tapi aku yang terbakar lebih dulu."
***
(Seminggu Sebelumnya)
"Bayu, kau pikir aku tak tahu?" ujar Asti, tangannya gemetar memegang piring yang hendak dihidangkan.
Bayu mendongak dari ponselnya, alisnya terangkat. "Tahu apa?"
"Perempuan itu! Setiap sore kau bilang lembur, tapi aku tahu kau ke kota!" Asti membentak, napasnya memburu.
Bayu tertawa kecil, seolah tak terganggu. "Kalau tahu, lalu kenapa? Kau mau apa? Mengadu ke orang tuamu? Atau mengusirku dari rumah ini? Hah, Asti?"
Asti terdiam, tapi amarahnya seperti bara api yang mulai menyala di dadanya. "Bayu, aku akan membuatmu menyesal. Aku bersumpah."
***
(Malam Kejadian)
Bayu pulang dalam keadaan mabuk. Bau alkohol memenuhi ruangan. Asti menunggu di ruang tamu, sebuah mangkuk berisi bara api ada di tangannya.
"Apa ini? Drama lagi?" ejek Bayu sambil menghempaskan tubuhnya ke sofa.
Asti mendekat, matanya menyala penuh kemarahan. "Bayu, kau pikir hanya kau yang bisa melukai orang lain? Kau pikir aku akan diam saja?"
Ia mengangkat bara api itu, mendekatkannya ke Bayu. Tapi sesuatu yang tak terduga terjadi. Bara itu terlepas dari tangannya, jatuh ke lantai dan menyambar kain gorden. Api menyebar cepat, melahap setiap sudut ruangan.
Bayu panik, mencoba melarikan diri, tapi asap sudah memenuhi rumah. Asti hanya berdiri mematung, seperti tak peduli.
***
(Kembali ke Malam Ini)
Pak Lurah menggelengkan kepala, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. "Asti, kenapa kau melakukan ini?"
Asti tersenyum tipis, bibirnya bergetar. "Aku ingin dia merasakan sakitnya... tapi aku lupa, aku yang menggenggam bara api itu lebih dulu."
Rumah itu kini tinggal arang, menjadi bukti bisu bahwa kemarahan bukanlah senjata. Kemarahan adalah bara api, dan yang menggenggamnya selalu lebih dulu terbakar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H