OLEH: Khoeri Abdul Muid
Adipati Jayakusuma dan rombongannya tiba lebih awal di arena pertandingan.
"Ya, inilah Gua Blenderan, Kanjeng Adipati. Di dalam gua ini ada sungainya. Itu muaranya," ujar Kendhuruan, sambil menunjuk ke arah sungai di dalam gua. "Pada waktu-waktu tertentu, tempat ini sering digunakan untuk bertapa rendam oleh orang-orang yang ingin mendapatkan kesaktian. Nanti, Kanjeng, ambil posisi di tenggara sana."
Adipati Jayakusuma mengangguk, kemudian bertanya, "Siapa yang memasang tambang itu, Rama?"
"Hmmm, itu hasil kerja anak-anak dari Pulo Upih. Supaya tidak mencurigakan, kita pergi dulu meninggalkan tempat ini. Jika Sekeber sudah tiba, kamu bisa menyusulnya," jelas Kendhuruan.
"Baik, Rama," sahut Jayakusuma patuh. Ia lalu beralih memanggil seorang kepercayaannya, "Penjaringan!"
"Siap, Kanjeng Adipati," sahut Patih Penjaringan dengan hormat.
"Kamu yang saya tugaskan menyambut kedatangan Sekeber di Gua Blenderan ini. Kemarin, siapa yang kamu tugasi mengabarkan tantangan saya kepada Sekeber?"
"Saya perintahkan Kawula Pangisepan, Kanjeng Adipati. Ia telah melaksanakan tugasnya tiga hari lalu. Dan Sekeber telah menyatakan kesiapannya bertanding sesuai waktu yang Kanjeng tentukan."
"Baik. Saya dan Rama Kendhuruan akan meninggalkan arena ini dulu."
Setelah Adipati Jayakusuma dan Kendhuruan pergi, Penjaringan segera menyiapkan jalannya pertandingan.
"Para prajurit! Apakah tambang yang akan digunakan untuk mengikat Kanjeng Adipati dan Baron Sekeber sudah siap?"
"Sudah siap, Gusti!" sahut salah seorang prajurit.
Tidak lama kemudian, suasana pecah oleh suara lantang seorang dari pihak lawan.
"Heiii, orang-orang Patiiii! Ini dia Tuan Raden Mas Baron Sekeber yang hadirrrr!" teriak Panggah, pemimpin rombongan Sekeber.
Patih Penjaringan segera menyambut kedatangan mereka.
"Selamat datang, saudara Sekeber. Silakan langsung masuk ke dalam gua," ujar Penjaringan dengan tenang.
Sekeber pun melangkah masuk, diikuti oleh anak buahnya yang terlihat waspada.
"Mana itu Tuan Jayakusuma?" tanya Baron Sekeber dengan nada tidak sabar.
"Beliau segera tiba. Mohon bersabar, saudara Sekeber," jawab Penjaringan ramah.
Sekeber menoleh kepada anak buahnya. "Muaranya cukup luas, tetapi gelap dan seram," gumamnya.
"Tidak ada cahaya matahari masuk, kecuali sedikit dari mulut gua tadi," sahut Panggah memperingatkan.
Namun, Sekeber menanggapi dengan percaya diri. "Aku sudah terbiasa dengan tempat-tempat seperti ini. Hidup berpetualang memang penuh tantangan!"
Tak lama, suara riuh terdengar dari luar. Adipati Jayakusuma bersama Kendhuruan tiba diiringi pengawal.
"Mohon maaf atas keterlambatan saya, Sekeber," ujar Jayakusuma dengan senyuman.
"Tidak masalah, Tuan Jayakusuma. Apakah perang selam ini bisa segera dimulai?"
"Bisa. Namun, aturan mainnya perlu disepakati dulu. Rama Kendhuruan, silakan jelaskan."
Kendhuruan maju dan memperkenalkan diri. "Aku Ki Kendhuruan. Sesuai perintah Kanjeng Adipati, aku dipercaya memimpin jalannya perang selam ini. Aturannya sederhana: kedua pihak akan diikat dengan tambang di pinggang. Setelah aba-aba, kalian meloncat ke dalam muara dan menyelam. Yang pertama muncul di permukaan dianggap kalah, dan harus menyerahkan diri kepada yang menang."
Baik Jayakusuma maupun Sekeber menyetujui aturan tersebut.
Tambang pun segera diikat di pinggang mereka. Setelah aba-aba diberikan, keduanya melompat ke dalam air.
Beberapa saat kemudian, Baron Sekeber muncul lebih dahulu, terengah-engah.
"Mana Jayakusuma?! Pasti dia sudah mati tenggelam! Aku menang!" teriaknya penuh ambisi.
Namun, seketika tubuh Jayakusuma muncul di permukaan. Dengan pura-pura kelelahan, ia berenang ke tepi.
"Rama Kendhuruan, siapa yang menang?" tanya Jayakusuma.
"Adipati Jayakusuma menang!" sorak para pendukung Pati, membalas euforia pendukung Sekeber.
Baron Sekeber lunglai. "Aku mengaku kalah, Tuan Jayakusuma. Sebagai tanda taklukku, terimalah baju zirah ini. Jika Tuan kenakan, Tuan akan kebal terhadap senjata tajam."
Jayakusuma menerima baju zirah itu dengan rasa terkejut dan terima kasih. Ia menyerahkan keputusan kepada Kendhuruan.
"Kanjeng Adipati, balaslah kejahatan dengan kebaikan. Namun, agar mudah diawasi, lebih baik jadikan Sekeber Juru Taman," usul Kendhuruan.
Jayakusuma setuju. "Mulai hari ini, Sekeber, kamu saya jadikan Juru Taman. Orang-orang Patiayam pun saya perkenankan pulang ke desa masing-masing. Namun, jangan sekali-kali mengulangi kejahatan kalian."
Baron Sekeber mengangguk pasrah. Damai pun tercipta di Pati.
BERSAMBUNG.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H