"Tidak ada cahaya matahari masuk, kecuali sedikit dari mulut gua tadi," sahut Panggah memperingatkan.
Namun, Sekeber menanggapi dengan percaya diri. "Aku sudah terbiasa dengan tempat-tempat seperti ini. Hidup berpetualang memang penuh tantangan!"
Tak lama, suara riuh terdengar dari luar. Adipati Jayakusuma bersama Kendhuruan tiba diiringi pengawal.
"Mohon maaf atas keterlambatan saya, Sekeber," ujar Jayakusuma dengan senyuman.
"Tidak masalah, Tuan Jayakusuma. Apakah perang selam ini bisa segera dimulai?"
"Bisa. Namun, aturan mainnya perlu disepakati dulu. Rama Kendhuruan, silakan jelaskan."
Kendhuruan maju dan memperkenalkan diri. "Aku Ki Kendhuruan. Sesuai perintah Kanjeng Adipati, aku dipercaya memimpin jalannya perang selam ini. Aturannya sederhana: kedua pihak akan diikat dengan tambang di pinggang. Setelah aba-aba, kalian meloncat ke dalam muara dan menyelam. Yang pertama muncul di permukaan dianggap kalah, dan harus menyerahkan diri kepada yang menang."
Baik Jayakusuma maupun Sekeber menyetujui aturan tersebut.
Tambang pun segera diikat di pinggang mereka. Setelah aba-aba diberikan, keduanya melompat ke dalam air.
Beberapa saat kemudian, Baron Sekeber muncul lebih dahulu, terengah-engah.
"Mana Jayakusuma?! Pasti dia sudah mati tenggelam! Aku menang!" teriaknya penuh ambisi.