OLEH: Khoeri Abdul Muid
Sirwenda dan Danurwenda, dua anak Baron Sekeber, sedang asyik bermain di taman dalam Kadipaten Pati. Dengan ceria, mereka bercanda bersama dua abdi yang mengasuh mereka, Paman Parman dan Mas Kalicuk. Keduanya dikenal sebagai pengasuh humoris yang pandai menghibur.
Suli, ibu mereka, menghampiri dengan senyum keibuan. Kedua anak itu langsung berlari mendekatinya, menggandeng tangannya dengan manja.
"Ibu, orang-orang ini lucu sekali! Mereka pelawak, ya?" tanya Sirwenda polos, sambil menunjuk Paman Parman dan Mas Kalicuk.
Suli tersenyum lembut. "Bukan, Nak. Mereka abdi taman yang membantu menjaga kalian," jawabnya.
"Kalau begitu, mereka kenal ayah dari mana?" timpal Danurwenda dengan rasa ingin tahu.
"Kenalnya lewat kakek Timbul, Srimulat," seloroh Suli, mencoba mengurangi rasa penasaran anak-anaknya. Jawaban itu justru mengundang gelak tawa dari semua yang mendengar.
Mereka melanjutkan canda. Sirwenda memulai sebuah teka-teki. "Paman, ayo tebak, surat apa yang bisa menunjukkan laki-laki atau perempuan?"
Paman Parman mengernyitkan dahi, berpura-pura berpikir keras. "Surat nikah!" jawabnya penuh percaya diri.
"Huu, salah! Itu mudah sekali," ejek Sirwenda. "Yang benar itu Suratna dan Suratni!"
Tawa kembali pecah. Mas Kalicuk ikut nimbrung. "Kalau begitu, anggur juga bisa beranak, ya? Lha itu, ada anggur beranak!"
Suli yang mengamati dari gazebo hanya bisa tersenyum simpul. "Kalian ini, kalau melawan paman-pamanmu, pasti kalah. Sudah, ayo temui ayah kalian. Dia pasti senang melihat kalian ceria begini," ujar Suli sambil menggandeng anak-anaknya masuk ke dalam.
Tidak lama kemudian, Sirwenda dan Danurwenda tampak menggandeng Adipati Jayakusuma ke taman. Dengan penuh hormat, Suli dan para abdi memberi sembah.
Adipati Jayakusuma duduk di gazebo besar, lalu menyapa. "Paman Parman, Mas Kalicuk, hari ini Rama Kendhuruan akan datang. Tolong sambut beliau di luar," titahnya.
"Siap, Kanjeng," jawab keduanya serempak, lalu bergegas menuju gerbang.
Setelah abdi pergi, Sirwenda memulai perbincangan dengan polos, "Ayah, kalau tidur di taman ini nyaman, ya? Saya dan Kangmas Danurwenda selalu menjaga agar tidak ada nyamuk yang mengganggu!"
Adipati Jayakusuma tersenyum geli. "Benarkah? Bagaimana kalian melakukannya?"
"Panah, Ayah!" jawab Danurwenda cepat. "Kami buat panah dari lidi, karet dari rambut Ibu, dan duri gabah sebagai anak panahnya."
Jayakusuma tertegun melihat kreativitas anak-anaknya, sembari berdecak kagum. Namun, percakapan terhenti ketika Kendhuruan tiba.
"Selamat datang, Rama Kendhuruan," sambut Adipati Jayakusuma penuh hormat.
Setelah berbasa-basi sejenak, Suli menyuruh anak-anaknya menghaturkan sembah hormat. Namun, Sirwenda menolak. "Ogah, ah! Ayo Dhimas, kita sembunyi!" serunya sambil menarik Danurwenda.
Mereka berlari ke genthong besar dan masuk ke dalamnya. Kendhuruan memperhatikan sambil menggeleng. "Genthong itu tidak cukup untuk dua anak. Lihat saja, kalau genthong itu pecah!"
Benar saja, genthong itu tiba-tiba retak dan pecah. Kedua anak jatuh terjerembap. Sirwenda menangis dan berlari ke pelukan ibunya. Suli menenangkan mereka sambil memohon maaf kepada Kendhuruan dan Adipati Jayakusuma.
Setelah suasana tenang, percakapan serius dimulai. Kendhuruan membahas strategi menghadapi Baron Sekeber. Ia menyarankan tantangan perang selam di gua Blenderan.
"Peperangan adalah tipu daya, Jayakusuma. Ini mungkin cara terbaik untuk mengakhiri konflik," ujar Kendhuruan bijak.
Adipati Jayakusuma mengangguk setuju. Ia pun segera mempersiapkan segalanya demi menghadapi tantangan besar tersebut.
BERSAMBUNG.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H