Tawa kembali pecah. Mas Kalicuk ikut nimbrung. "Kalau begitu, anggur juga bisa beranak, ya? Lha itu, ada anggur beranak!"
Suli yang mengamati dari gazebo hanya bisa tersenyum simpul. "Kalian ini, kalau melawan paman-pamanmu, pasti kalah. Sudah, ayo temui ayah kalian. Dia pasti senang melihat kalian ceria begini," ujar Suli sambil menggandeng anak-anaknya masuk ke dalam.
Tidak lama kemudian, Sirwenda dan Danurwenda tampak menggandeng Adipati Jayakusuma ke taman. Dengan penuh hormat, Suli dan para abdi memberi sembah.
Adipati Jayakusuma duduk di gazebo besar, lalu menyapa. "Paman Parman, Mas Kalicuk, hari ini Rama Kendhuruan akan datang. Tolong sambut beliau di luar," titahnya.
"Siap, Kanjeng," jawab keduanya serempak, lalu bergegas menuju gerbang.
Setelah abdi pergi, Sirwenda memulai perbincangan dengan polos, "Ayah, kalau tidur di taman ini nyaman, ya? Saya dan Kangmas Danurwenda selalu menjaga agar tidak ada nyamuk yang mengganggu!"
Adipati Jayakusuma tersenyum geli. "Benarkah? Bagaimana kalian melakukannya?"
"Panah, Ayah!" jawab Danurwenda cepat. "Kami buat panah dari lidi, karet dari rambut Ibu, dan duri gabah sebagai anak panahnya."
Jayakusuma tertegun melihat kreativitas anak-anaknya, sembari berdecak kagum. Namun, percakapan terhenti ketika Kendhuruan tiba.
"Selamat datang, Rama Kendhuruan," sambut Adipati Jayakusuma penuh hormat.
Setelah berbasa-basi sejenak, Suli menyuruh anak-anaknya menghaturkan sembah hormat. Namun, Sirwenda menolak. "Ogah, ah! Ayo Dhimas, kita sembunyi!" serunya sambil menarik Danurwenda.