OLEH: Khoeri Abdul Muid
Asap tipis mengepul dari cangkir teh yang mendingin di meja kayu. Sorot mata tua Ki Sancaka yang biasanya lembut kini tajam seperti belati. Di depannya, dua murid terbaiknya, Candra dan Tirta, saling bertatapan penuh ketegangan.
"Aku sudah menemukan jawabannya, Guru!" seru Candra tiba-tiba, memecah kesunyian.
Tirta mendengus, "Kau bicara soal jawaban? Kau bahkan tidak berusaha mencarinya."
Candra menatapnya dengan tatapan menyala, "Lebih baik tidak mencari daripada serakah seperti kau, Tirta. Kau temukan apa yang kau cari, tapi tak pernah kau gunakan!"
Ki Sancaka mengangkat tangannya, memotong perdebatan itu. "Tenang. Jelaskan masing-masing jawaban kalian."
Candra maju lebih dulu. "Guru, bukankah hidup itu lebih baik menikmati apa yang ada? Jika ada makanan, makanlah. Jika ada waktu luang, istirahatlah. Mengapa harus bersusah payah mencari sesuatu yang mungkin tidak kita butuhkan?"
Ki Sancaka menatapnya lama, lalu mengangguk perlahan. "Baiklah. Lalu kau, Tirta?"
Tirta berdiri tegak. "Guru, hidup adalah perjuangan. Aku mencari dan menemukan banyak hal, karena itulah bukti kerja keras dan kepandaianku. Tapi aku juga tahu, hasil jerih payah itu harus disimpan untuk hari-hari mendatang. Tidak semua yang kita miliki harus dipakai, bukan?"
Ki Sancaka tersenyum kecil, tetapi ada kesedihan di baliknya. "Dan kau tidak merasa ada sesuatu yang salah?"
Tirta terdiam, bingung.
Ki Sancaka berdiri, pandangannya menyapu keduanya. "Kalian berdua lupa satu hal penting. Hidup bukan hanya tentang memiliki atau menikmati. Hidup adalah tentang memberi manfaat pada dunia. Sebagai muridku, kalian akan kuberikan pelajaran terakhir."
Beberapa hari sebelumnya, Ki Sancaka memanggil Candra dan Tirta ke ruangannya. Ia menyerahkan sebuah peta tua dengan tanda silang di tengahnya.
"Temukan peti ini," katanya singkat. "Apa yang ada di dalamnya akan menentukan nasib kalian."
Candra mengerutkan dahi, "Kenapa harus repot-repot, Guru? Apa tidak bisa Guru saja yang memberikannya langsung pada kami?"
Ki Sancaka tersenyum tipis, "Karena perjalanan ini adalah ujian kalian. Jika kalian tak mau mencarinya, maka mungkin kau, Candra, memang belum siap. Dan jika kau, Tirta, hanya mencari untuk menimbunnya, maka kau juga belum pantas."
Peti itu ditemukan oleh Tirta, seperti yang diduga Ki Sancaka. Namun, setelah membuka peti itu, Tirta bingung. Isinya hanya batu-batu biasa yang tampak tak berharga.
"Kau lihat?" ejek Candra ketika Tirta memperlihatkan temuannya. "Apa gunanya kerja kerasmu kalau hasilnya seperti ini?"
Tapi Tirta tidak mendengar ejekan itu. Ia sibuk menyembunyikan batu-batu itu di kamarnya, berpikir suatu saat mungkin ada nilainya.
Sementara itu, Candra memilih untuk tidak ikut perjalanan dan tetap tinggal di rumah. Ia menikmati kemalasannya, yakin bahwa peti itu tidak lebih dari permainan belaka.
Hari ini, di hadapan Ki Sancaka, jawaban mereka berdua terpampang jelas. Tapi Ki Sancaka belum selesai. Ia berjalan menuju sudut ruangan, mengambil sebuah peti kecil yang lain. Peti itu berkilauan.
"Ini adalah batu permata yang sebenarnya," katanya. "Tidak ada yang menemukannya karena hanya aku yang tahu lokasinya."
Candra dan Tirta terperangah. "Lalu, apa gunanya ujian itu, Guru?" tanya Tirta.
Ki Sancaka tertawa kecil. "Karena ujian itu bukan tentang peti atau batu. Ujian itu tentang kalian sendiri. Candra, kau terlalu malas untuk berusaha. Tirta, kau terlalu kikir untuk berbagi apa yang kau dapatkan."
"Lalu, apa arti peti itu?" tanya Candra ragu.
Ki Sancaka menatap mereka lama sebelum menjawab. "Peti itu hanyalah cermin. Batu-batu biasa itu menjadi tidak berguna di tangan Tirta, karena ia hanya menyimpannya. Dan kau, Candra, bahkan tidak tahu bentuknya karena kau tidak peduli untuk mencarinya."
Di akhir hari, Ki Sancaka memberikan permata itu kepada seorang murid lain, Bayu, yang tidak pernah ikut dalam perdebatan atau perburuan.
"Kenapa dia, Guru?" protes Tirta.
"Karena Bayu tahu bagaimana mencari dan memakai," jawab Ki Sancaka tegas.
Candra dan Tirta saling menatap, mata mereka penuh penyesalan. Tapi Ki Sancaka tidak memberi mereka waktu lagi. "Hidup tidak hanya tentang memiliki atau menikmati. Hidup adalah tentang memberi manfaat. Kalian memilih jalan kalian sendiri, dan ini adalah hasilnya."
Di luar, angin dingin bertiup. Dalam hati mereka, kebenaran Ki Sancaka terasa seperti pedang yang menghunus, mematahkan ego masing-masing. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H