Ki Sancaka berdiri, pandangannya menyapu keduanya. "Kalian berdua lupa satu hal penting. Hidup bukan hanya tentang memiliki atau menikmati. Hidup adalah tentang memberi manfaat pada dunia. Sebagai muridku, kalian akan kuberikan pelajaran terakhir."
Beberapa hari sebelumnya, Ki Sancaka memanggil Candra dan Tirta ke ruangannya. Ia menyerahkan sebuah peta tua dengan tanda silang di tengahnya.
"Temukan peti ini," katanya singkat. "Apa yang ada di dalamnya akan menentukan nasib kalian."
Candra mengerutkan dahi, "Kenapa harus repot-repot, Guru? Apa tidak bisa Guru saja yang memberikannya langsung pada kami?"
Ki Sancaka tersenyum tipis, "Karena perjalanan ini adalah ujian kalian. Jika kalian tak mau mencarinya, maka mungkin kau, Candra, memang belum siap. Dan jika kau, Tirta, hanya mencari untuk menimbunnya, maka kau juga belum pantas."
Peti itu ditemukan oleh Tirta, seperti yang diduga Ki Sancaka. Namun, setelah membuka peti itu, Tirta bingung. Isinya hanya batu-batu biasa yang tampak tak berharga.
"Kau lihat?" ejek Candra ketika Tirta memperlihatkan temuannya. "Apa gunanya kerja kerasmu kalau hasilnya seperti ini?"
Tapi Tirta tidak mendengar ejekan itu. Ia sibuk menyembunyikan batu-batu itu di kamarnya, berpikir suatu saat mungkin ada nilainya.
Sementara itu, Candra memilih untuk tidak ikut perjalanan dan tetap tinggal di rumah. Ia menikmati kemalasannya, yakin bahwa peti itu tidak lebih dari permainan belaka.
Hari ini, di hadapan Ki Sancaka, jawaban mereka berdua terpampang jelas. Tapi Ki Sancaka belum selesai. Ia berjalan menuju sudut ruangan, mengambil sebuah peti kecil yang lain. Peti itu berkilauan.
"Ini adalah batu permata yang sebenarnya," katanya. "Tidak ada yang menemukannya karena hanya aku yang tahu lokasinya."