Naya tidak langsung menjawab. Ia menatap jendela, melihat tetesan gerimis yang mulai membasahi kaca. "Mungkin. Atau mungkin sesuatu yang lebih buruk."
Arya menatapnya dalam. "Kau tahu, untuk mengenal seseorang, kita memerlukan ikatan kesepahaman. Tapi memahami seseorang... itu butuh keberanian. Dan kebijaksanaan."
"Kau suka berkata-kata bijak, ya?" Naya mencoba menertawakan, meskipun nada suaranya sedikit gemetar.
Arya tersenyum samar. "Kadang aku berpikir, kebijaksanaan itu datang terlambat. Sama seperti pengampunan."
Kata-kata itu menggantung di udara, seperti awan gelap yang siap pecah.
"Aku perlu memberitahumu sesuatu," kata Arya tiba-tiba.
Hati Naya mencelos. Ia menegakkan punggungnya, bersiap mendengar sesuatu yang buruk. "Apa?"
Arya menghela napas panjang. "Aku di sini bukan hanya untuk bertemu. Aku ingin memberitahumu sesuatu yang mungkin akan mengubah cara kau memandangku."
"Arya, kau membuatku takut."
Arya menggenggam cangkirnya erat. "Tujuh tahun lalu, kau meninggalkan seorang pria di altar."
Naya terdiam. Dunianya seperti berhenti berputar. "Bagaimana kau tahu?"