"Pria itu adalah kakakku."
Naya menutup mulutnya dengan tangan. Matanya mulai memanas, dan dadanya terasa sesak. "Arya... aku..."
"Aku tidak di sini untuk menghakimimu, Nay," kata Arya pelan. "Aku hanya ingin memahami. Luka itu menghancurkannya, dan aku butuh waktu lama untuk menerima kenyataan. Tapi ketika aku membaca pesan-pesanmu, aku sadar... kau juga menderita."
"Aku tidak punya alasan, Arya. Aku hanya pengecut."
"Dan aku di sini bukan untuk mencari alasan. Aku ingin mencoba memaafkanmu."
Air mata mulai mengalir di pipi Naya. "Aku tidak pantas dimaafkan."
Arya berdiri, memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya. "Pengampunan bukan soal pantas atau tidak, Nay. Tapi aku tidak yakin kita bisa bertemu lagi setelah ini. Mungkin ini yang terbaik."
Ia melangkah pergi, meninggalkan Naya dengan segudang rasa bersalah yang tak tertahankan.
Langit malam di luar kafe dipenuhi bintang, tetapi bagi Naya, gelap itu terasa pekat. Ia meraih ponselnya, mengetik pesan untuk Arya:
"Terima kasih sudah datang. Aku akan belajar memaafkan diriku sendiri. Semoga suatu hari kita bisa saling tersenyum lagi."
Namun, sebelum ia sempat mengirim pesan itu, layar ponselnya menyala dengan berita masuk: