OLEH: Khoeri Abdul Muid
Langit sore itu berwarna kelabu seperti abu yang tersisa dari api besar. Di sebuah kafe kecil di pinggir kota, Naya duduk dengan gelisah, tangannya memutar cangkir kopi yang sudah kehilangan kehangatannya. Ia melirik jam tangan---satu-satunya peninggalan ayahnya yang selalu memberinya rasa nyaman.
"Hari ini dia pasti datang," gumamnya pelan, meskipun hatinya penuh keraguan.
"Naya?" Sebuah suara berat memecah lamunannya.
Naya mendongak, matanya bertemu dengan Arya---pria yang selama tiga bulan terakhir hanya menjadi bayangan di layar ponsel. Sosoknya berbeda dari yang ia bayangkan: tinggi, dengan senyum tipis yang sulit ditebak, dan jaket motor hitam yang tampak sudah terlalu sering dipakai.
"Kau kelihatan lebih kecil dari bayanganku," Arya berkata sambil menarik kursi.
"Dan kau lebih... berani dari yang kubayangkan," balas Naya, mencoba terdengar santai.
Mereka berbicara dengan hati-hati pada awalnya. Topik kecil seperti kopi, cuaca, dan lagu-lagu favorit. Tapi seperti air yang akhirnya menemukan celah, percakapan mereka segera mengalir ke tempat yang lebih dalam.
"Aku selalu bertanya-tanya," kata Arya sambil menatap cangkirnya, "mengapa kau mau mendengar cerita orang asing sepertiku?"
Naya tersenyum kecil. "Karena aku merasa kita punya sesuatu yang sama."
"Kesepian?"