Namun Lodra tetap berdiri tegak, matanya penuh keberanian. "Ayah, apakah hidup kita hanya untuk bermusuhan? Jika memang harus ada yang berkorban, biar aku yang melakukannya!"
Desa terdiam. Semua orang memandang Lodra, termasuk Bima, putra sulung Jayaputra yang diam-diam bersahabat dengan Lodra.
Pak Wijaya mencoba meredakan ketegangan. "Lodra benar. Apa gunanya kita menang dalam pertikaian jika hati kita hancur? Ingatlah doktrin Raja Dhigiti: Permusuhan tidak akan padam oleh api permusuhan. Tetapi akan menyisih oleh siraman belas kasih."
Suasana mulai mereda. Giri perlahan menurunkan goloknya. "Baiklah. Jika itu demi desa, aku akan mengalah. Kita bicarakan ini baik-baik."
Darto menatap Giri dengan tatapan tajam, tetapi akhirnya menghela napas panjang. "Aku juga... tidak ingin permusuhan ini terus berlanjut."
Tepuk tangan kecil terdengar. Semua orang mengira konflik berakhir. Tetapi saat Lodra melangkah ke arah ayahnya, tiba-tiba sebuah panah meluncur cepat dari arah kerumunan.
Wuussh!
Panah itu menembus dada Lodra.
"Lodra!" jerit Bima, yang langsung berlari ke arah sahabatnya.
Tubuh Lodra rubuh ke tanah. Darah mengalir deras, membasahi lapangan. Desa seketika kacau. Semua mata mencari pelaku, tetapi tak ada yang tahu siapa yang melakukannya.
Di tengah tangis dan kekacauan, Pak Jarot, sesepuh desa, berjalan perlahan ke arah Lodra. Ia berlutut di samping tubuh pemuda itu.