OLEH: Khoeri Abdul Muid
Desa Kalinggajaya dikenal sebagai desa yang penuh harmoni. Namun, pagi itu harmoni retak. Dua keluarga besar---Wiranata dan Jayaputra---berdiri berhadapan di lapangan desa. Masing-masing membawa puluhan pendukung bersenjata.
Di atas panggung bambu, Pak Wijaya, kepala desa, berusaha menenangkan situasi. "Saudara-saudaraku! Jangan biarkan kita hancur karena dendam ini! Ingatlah, rukun agawe santosa, crah agawe bubrah!"
Tapi teriakan Pak Wijaya tenggelam oleh amarah yang menyala-nyala.
"Aku tidak akan menyerahkan tanah leluhurku kepada kalian!" teriak Darto Wiranata, menggenggam golok.
"Tanah itu bukan milik keluargamu!" balas Giri Jayaputra dengan tatapan tajam. "Itu tanah desa, dan kami akan membangun pasar untuk kemajuan semua!"
Sejarah permusuhan kedua keluarga ini kembali menguar. Dahulu, ayah Darto dan Giri berselisih karena sebuah ladang yang dianggap keramat. Konflik itu merembet hingga generasi sekarang, diperparah dengan kebijakan desa yang dianggap tidak adil.
Sementara suasana semakin memanas, Lodra, anak bungsu keluarga Wiranata, maju ke tengah lapangan.
"Cukup!" teriaknya lantang.
"Lodra, mundur! Jangan ikut campur urusan ini!" bentak Darto, ayahnya.
Namun Lodra tetap berdiri tegak, matanya penuh keberanian. "Ayah, apakah hidup kita hanya untuk bermusuhan? Jika memang harus ada yang berkorban, biar aku yang melakukannya!"
Desa terdiam. Semua orang memandang Lodra, termasuk Bima, putra sulung Jayaputra yang diam-diam bersahabat dengan Lodra.
Pak Wijaya mencoba meredakan ketegangan. "Lodra benar. Apa gunanya kita menang dalam pertikaian jika hati kita hancur? Ingatlah doktrin Raja Dhigiti: Permusuhan tidak akan padam oleh api permusuhan. Tetapi akan menyisih oleh siraman belas kasih."
Suasana mulai mereda. Giri perlahan menurunkan goloknya. "Baiklah. Jika itu demi desa, aku akan mengalah. Kita bicarakan ini baik-baik."
Darto menatap Giri dengan tatapan tajam, tetapi akhirnya menghela napas panjang. "Aku juga... tidak ingin permusuhan ini terus berlanjut."
Tepuk tangan kecil terdengar. Semua orang mengira konflik berakhir. Tetapi saat Lodra melangkah ke arah ayahnya, tiba-tiba sebuah panah meluncur cepat dari arah kerumunan.
Wuussh!
Panah itu menembus dada Lodra.
"Lodra!" jerit Bima, yang langsung berlari ke arah sahabatnya.
Tubuh Lodra rubuh ke tanah. Darah mengalir deras, membasahi lapangan. Desa seketika kacau. Semua mata mencari pelaku, tetapi tak ada yang tahu siapa yang melakukannya.
Di tengah tangis dan kekacauan, Pak Jarot, sesepuh desa, berjalan perlahan ke arah Lodra. Ia berlutut di samping tubuh pemuda itu.
"Anakku... kau telah menunjukkan arti pengorbanan sejati," ucap Pak Jarot dengan suara parau.
Namun, saat itu juga, Bima berdiri dan berteriak, "Cukup sudah sandiwara ini! Pelakunya adalah aku!"
Kerumunan terdiam. Semua menatap Bima dengan kaget.
"Bima, apa yang kau lakukan?!" tanya Giri, ayahnya, dengan wajah penuh amarah dan bingung.
Bima menatap semua orang dengan tatapan dingin. "Jika Lodra tidak mati, kalian semua tidak akan sadar. Kalian hanya akan terus bertikai! Aku mencintai desa ini lebih dari hidupku sendiri... dan aku mencintai sahabatku, Lodra. Aku membunuhnya agar kedamaian bisa benar-benar hidup!"
Pak Wijaya gemetar. "Kau mengorbankan sahabatmu sendiri? Demi apa, Bima?"
"Demi desa ini. Lodra tahu apa yang kulakukan. Dia sendiri yang bilang, 'Jika aku mati, biarlah menjadi akhir dari semua dendam ini.' Aku hanya memenuhi janjinya."
Desa diliputi keheningan. Semua orang menyadari bahwa konflik ini tidak akan selesai tanpa sebuah pengorbanan besar. Lodra adalah martir, dan Bima adalah alat yang melaksanakan keputusan pahit itu.
Sejak saat itu, desa Kalinggajaya damai. Namun, bayang-bayang pengorbanan Lodra dan tindakan Bima terus menghantui setiap warga, mengingatkan mereka bahwa perdamaian sejati sering kali lahir dari luka terdalam.
Tidak ada yang mampu memaafkan Bima sepenuhnya, tetapi tak ada yang berani mengutuknya. Biarlah diurus pihak yang berwajib. Dan, yang terpatri di keyakinan setiap penduduk adalah desa Kalinggajaya hidup dalam harmoni yang dibayar dengan pengorbanan dua sahabat sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H