OLEH: Khoeri Abdul Muid
Aja Cugetan Aten
Di sebuah desa kecil yang damai, hiduplah seorang pemuda bernama Arga. Ia dikenal sebagai orang yang ambisius, tak kenal lelah, dan memiliki mimpi besar. Di matanya, hidup ini adalah tentang meraih sesuatu yang besar---harta, kekuasaan, dan pengakuan.Â
Meskipun ia sudah memiliki semuanya, ada satu hal yang ia tidak bisa dapatkan: kedamaian hati. Setiap malam, meski tertidur dalam rumah mewah, ada rasa kosong yang menggerogoti hatinya, seakan segala pencapaian itu tidak pernah cukup.
Suatu sore, Arga berkeliling desa, berpikir untuk menambah koleksi prestasinya. Ia tiba di bawah pohon besar di ujung desa, tempat Bu Lestari, seorang wanita tua yang sering terlihat bijaksana, duduk santai. Bu Lestari tidak kaya, namun ia dikenal oleh banyak orang karena kata-kata bijaknya yang mengena. Arga merasa, dengan segala pencapaiannya, tidak ada yang bisa ia pelajari dari wanita tua itu. Ia mendekat dengan sikap sombong.
"Bu Lestari," katanya, menyeringai. "Apa yang orang-orang cari padamu? Apa yang bisa kamu ajarkan kepada orang seperti saya yang sudah punya segalanya? Rumah mewah, pekerjaan besar. Apa yang bisa seorang wanita tua seperti Anda berikan?"
Bu Lestari mengangkat pandangannya pelan, senyum lembut terlukis di bibirnya. "Anakku, terkadang kita merasa sudah memiliki segalanya, padahal kita kehilangan hal yang paling berharga: kedamaian dalam hati. Apa yang kamu cari, Arga? Kebahagiaan sejati tidak datang dari dunia luar."
Arga terkekeh. "Kebahagiaan? Itu bisa dibeli dengan uang. Semua orang tahu itu."
"Begitu banyak yang kau kejar, anakku. Tapi pernahkah kau bertanya pada diri sendiri, apakah yang kau kejar itu membawa kebahagiaan yang sejati?" Bu Lestari berkata dengan tenang. "Kadang, kita hanya perlu mengubah cara kita melihat dunia."
Arga merasa tidak puas. Ia melangkah pergi, tidak ingin mendengarkan lebih banyak nasihat yang menurutnya hanya omong kosong.
Beberapa hari kemudian, Arga bertemu dengan Pak Karyo, seorang petani tua yang selalu bekerja dengan tekun, meski hidupnya sederhana. Arga, yang merasa lebih unggul karena status sosialnya, berbicara dengan nada merendahkan.
"Pak Karyo, masih saja bekerja keras? Bukankah umurmu sudah lanjut? Kenapa tidak berhenti dan menikmati hidup?"
Pak Karyo mengangkat pandangannya dengan penuh kebijaksanaan, meskipun tubuhnya lelah, matanya tetap hidup. "Arga, hidup ini bukan hanya soal apa yang bisa kita raih. Hidup ini soal bagaimana kita memberi, bagaimana kita merasakan keberkahan dalam setiap hal kecil yang kita lakukan."
Arga tersenyum sinis. "Tentu saja, Pak. Pasti lebih enak hidup seperti itu, tanpa beban, tanpa ambisi. Tapi itu bukan hidup yang aku inginkan."
Pak Karyo tersenyum, seakan sudah mengetahui apa yang akan terjadi. "Kau muda, Arga. Punya banyak tenaga, punya banyak ambisi. Tapi ingat, semakin besar ambisi, semakin besar pula beban yang harus kau pikul. Kebahagiaan yang sejati datang ketika kita bisa merasakan kedamaian, bukan hanya dari apa yang kita raih, tetapi dari apa yang kita berikan."
Arga merasa tersinggung dan berjalan pergi, meninggalkan Pak Karyo dengan tatapan penuh makna. "Apa yang dia tahu tentang hidup?" pikirnya.
Namun, semakin hari, semakin terasa ada yang hilang. Arga mulai merasa terperangkap dalam dunia yang ia bangun sendiri. Harta dan kesuksesan tidak bisa memberi kebahagiaan yang ia harapkan. Ia mulai merasakan kegelisahan yang datang saat malam tiba---kesepian meski dikelilingi segala yang ia anggap berharga.
Pagi itu, Arga memutuskan untuk menemui Bu Lestari lagi. Kali ini, bukan dengan sikap sombong, melainkan dengan kerendahan hati yang baru. Ia merasa ada yang harus diperbaiki dalam hidupnya, tapi ia tidak tahu apa.
"Bu Lestari," Arga berkata pelan. "Saya merasa kosong, meskipun saya sudah meraih banyak. Apa yang salah dengan saya?"
Bu Lestari menatap Arga dalam-dalam, seakan bisa melihat luka di hati Arga yang tersembunyi. "Arga, terkadang kita terlalu sibuk mencari kebahagiaan di luar sana, di dunia yang penuh dengan hiruk-pikuk dan persaingan. Tetapi kebahagiaan sejati ada di dalam hati, dalam cara kita melihat hidup. Cobalah untuk merubah cara pandangmu."
Arga terdiam, kata-kata Bu Lestari menyentuh jantungnya. "Bagaimana caranya, Bu?"
"Mulailah dengan mengubah cara kamu melihat diri sendiri. Jangan anggap kritik orang sebagai serangan. Anggaplah itu sebagai pelajaran. Jangan biarkan pikiranmu terbelenggu oleh amarah dan rasa sakit. Pikiran itu seperti pelita yang menuntun hatimu. Jika pelita itu terang, dunia di sekitarmu juga akan terlihat terang."
Perasaan Arga mulai bergetar. Sesuatu dalam hatinya berubah. Sejak saat itu, ia mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda. Ia tidak lagi marah ketika dikritik, tidak lagi merasa tersinggung dengan ucapan orang lain. Ia mulai belajar untuk bersyukur atas apa yang dimilikinya dan memberi lebih banyak kepada orang lain. Ia merasa lebih ringan, lebih tenang.
Hari-hari berlalu, dan perubahan itu mulai terasa dalam dirinya. Pekerjaan yang dulu ia anggap sebagai beban, kini terasa lebih bermakna. Ia mulai lebih banyak memberi, bukan hanya dari harta, tetapi juga dari waktu dan perhatian. Ia merasakan kebahagiaan yang datang bukan dari apa yang dimilikinya, tetapi dari bagaimana ia bisa berbagi.
Pada akhirnya, Arga mengerti apa yang Bu Lestari dan Pak Karyo maksudkan. Kebahagiaan sejati tidak datang dari dunia luar, tetapi dari dalam hati, dari cara kita melihat dan merasakan hidup. Dan ketika ia belajar untuk mengubah pola pikirnya, hidupnya pun berubah. Tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang di sekitarnya.
Arga tidak lagi merasa kosong. Hatinya kini penuh dengan kedamaian, dan dunia di sekitarnya terasa lebih terang. Karena ia tahu, kebahagiaan yang sejati dimulai dari dalam, dan dengan pikiran yang benar, segalanya menjadi lebih indah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H