OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di tengah kota besar yang serba cepat, ada seorang pemuda bernama Damar. Usianya baru dua puluh lima, namun ia merasa sudah harus mencapai sesuatu yang luar biasa. Setiap hari, ia terjaga hingga larut malam, merencanakan masa depan cemerlang---sebuah kesuksesan yang bisa dilihat dan dirasakan secepat mungkin. Hidup ini, menurut Damar, adalah soal kecepatan dan ukuran. Jika tidak segera mencapai puncak, maka ia merasa dirinya tertinggal.
"Kenapa harus mulai dari hal kecil?" keluh Damar pada dirinya sendiri, sambil menatap layar komputer yang penuh dengan berbagai proyek ambisius. "Saya ingin hasil cepat, tidak ada waktu untuk hal-hal kecil."
Namun, jauh dari keramaian kota, ada seorang lelaki tua yang bijaksana, Pak Karto. Di usianya yang lebih dari tujuh puluh tahun, Pak Karto tidak pernah merasa terburu-buru. Ia dikenal sebagai petani sederhana yang menjalani hidupnya dengan penuh ketulusan, tanpa ingin hidupnya tampak besar di mata dunia. Setiap kata yang diucapkannya seolah memiliki kedalaman, dan setiap tindakannya memperlihatkan ketenangan yang memancar.
Suatu sore, Damar, yang sedang terburu-buru menuju kantor, melihat Pak Karto duduk di pinggir jalan, menikmati hangatnya matahari sore. Damar, yang sedang tertekan oleh berbagai masalah, merasa perlu mencari seseorang yang bisa memberinya jawaban cepat. Tanpa banyak berpikir, ia mendekati Pak Karto.
"Pak Karto, saya ingin hidup sukses. Saya ingin sesuatu yang besar, yang cepat. Semua orang bilang saya harus segera mencapai tujuan saya, tapi kenapa hidup terasa lambat? Apa yang harus saya lakukan?" tanya Damar dengan penuh kecemasan.
Pak Karto hanya tersenyum sambil memandang jauh, lalu berkata pelan, "Damar, lihat sekelilingmu. Apa yang paling kecil di sini?"
Damar bingung sejenak, lalu menjawab, "Rayap, Pak."
"Betul," kata Pak Karto, suara tenang dan dalam. "Lihatlah mereka. Seperti rayap yang membangun rumahnya sedikit demi sedikit, mereka tidak pernah terburu-buru. Mereka tidak mengucapkan 'Bim Salabim' dan tiba-tiba rumah megah muncul begitu saja. Mereka bekerja perlahan, membawa potongan-potongan kayu yang sangat kecil. Tapi lihatlah rumah mereka. Walaupun tidak sebesar rumah-rumah lain, rumah mereka kokoh dan penuh dengan kehidupan."
Damar termenung. Ia merasa ada sesuatu yang tertinggal dalam dirinya. Namun, tidak lama kemudian, ia merasa bahwa cara ini terlalu lambat. "Tapi Pak, saya tidak punya waktu untuk itu. Saya ingin hasil yang cepat!" ujar Damar dengan rasa putus asa.
Pak Karto tersenyum lagi, "Kebajikan juga seperti itu, Damar. Tidak ada yang instan. Semua memerlukan waktu. Pikirkan ini, setiap pikiran baik, ucapan baik, dan perbuatan baik yang kamu lakukan, meskipun kecil, akan membangun kebahagiaan untukmu dan orang lain."
Damar tidak bisa mengerti sepenuhnya. Ia merasa tidak sabar. "Saya ingin hasil sekarang juga, Pak. Tidak ada waktu untuk hal-hal kecil," desahnya, sambil berbalik dan melangkah cepat menuju tujuan lainnya. Ia memutuskan untuk mengabaikan nasihat Pak Karto, memilih untuk mengejar kesuksesan instan yang ia impikan.
Berbulan-bulan berlalu. Damar, yang terus terburu-buru mengejar proyek-proyek besar, menemukan dirinya terjerat dalam kegagalan yang beruntun. Keputusan-keputusan cepat yang ia buat membawa kerugian besar, dan ia mulai merasa dirinya semakin terjebak dalam kegelisahan. Namun, ia tidak mau menyerah. Ia terus berusaha lebih keras, menambah beban di pundaknya, tanpa ada rasa puas.
Akhirnya, sebuah proyek yang sangat besar, yang ia harapkan menjadi titik balik hidupnya, gagal total. Damar hampir kehilangan segalanya. Rasa kecewa, amarah, dan penyesalan mulai merasuki pikirannya. Ia merasa hidupnya sia-sia, seperti sebuah perjalanan yang tidak pernah sampai ke tujuan. Puncak kesuksesan yang ia kejar seakan menjauh.
Suatu hari, ketika ia berjalan lunglai di pinggir jalan yang sama, tanpa sengaja ia bertemu dengan Pak Karto lagi. Wajah Damar tampak lelah, matanya kosong, dan hatinya penuh dengan kekecewaan. Ia mendekati Pak Karto dengan langkah pelan.
"Pak Karto," kata Damar dengan suara serak, "Saya sudah mencoba cara yang cepat, tetapi semuanya gagal. Semua yang saya lakukan terasa tidak ada gunanya. Saya terjebak dalam keinginan untuk cepat sukses, dan saya tidak tahu lagi harus bagaimana."
Pak Karto memandang Damar dengan lembut, lalu berbicara pelan, "Damar, seperti rayap yang membangun rumahnya, kebajikan dan kesuksesan memerlukan waktu. Kamu terlalu terburu-buru, mengejar yang instan, tanpa menyadari bahwa setiap langkah kecil yang kamu ambil dengan ketulusan akan membangun sesuatu yang lebih besar."
Damar terdiam. Perlahan, ia mulai menyadari betapa benar kata-kata Pak Karto. Tapi saat ia hendak mengucapkan terima kasih, sebuah kejutan datang. Damar merogoh kantongnya dan menemukan selembar surat yang terjatuh. Ia membuka surat itu, dan wajahnya berubah pucat saat membaca tulisan di dalamnya.
Surat itu adalah surat kabar yang tertulis tentang dirinya, dengan judul besar: "Damar, Sang Pemimpi yang Gagal. Dari Ambisi Besar ke Kehancuran."
Damar terkejut. Semua yang ia lakukan, semua impian yang ia kejar, ternyata telah tercatat sebagai kegagalan. Ia merasa malu, seperti ada yang runtuh dalam dirinya. Dalam sekejap, semua yang ia banggakan hancur begitu saja. Keinginan besar yang selama ini ia kejar, ternyata hanya membawanya pada kehampaan.
Pak Karto menatap Damar dengan penuh pengertian. "Damar, kehidupan ini tidak selalu tentang hasil yang besar dan cepat. Semua butuh waktu. Seperti rayap yang membangun rumah sedikit demi sedikit, kebahagiaan dan kesuksesan harus dibangun dengan sabar dan penuh ketulusan."
Namun, tepat saat Damar merasa mulai menemukan pencerahan, tubuhnya terjatuh. Kelelahan yang luar biasa, tekanan hidup yang ia rasakan, akhirnya membawa dampak yang tak terelakkan. Pak Karto bergegas menghampiri, tapi Damar sudah tidak bisa lagi berbicara. Tubuhnya terkulai, dan dunia yang ia impikan hilang begitu saja.
Pak Karto menghela napas panjang. Ia telah memberikan nasihat terbaik yang bisa diberikan. Tetapi, hidup kadang tidak memberi kesempatan untuk menikmati hasil perjuangan.
Damar yang akhirnya mulai memahami arti dari kesabaran dan kebajikan tidak sempat merasakan manfaat dari usaha-usahanya yang kecil. Semua yang ia kejar terlalu terlambat. Sebuah pelajaran besar datang dengan cara yang pahit, bahwa terkadang waktu dan kesabaran adalah hal yang tidak bisa diabaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H