Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. REDAKTUR penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Jejak Ibrahim dan Warisan Spiritualnya (8)

26 November 2024   22:57 Diperbarui: 26 November 2024   23:22 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Jejak Ibrahim dan Warisan Spiritualnya. dokpri

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Soal nasib. Meski bagai langit- bumi. Ponco dan Silo merupakan teman berkelindan. Teman sinorowedi. Teman securahan hati.

Berlatarbelakang yang lain. Pendidikan Ponco mandeg sampai jenjang SMA. Sementara Silo berkesempatan mengenyam ilmu di IKIP Yogyakarta hingga S-3.

Beruntung mereka bekerja dalam lingkungan yang sama. Silo meskipun masih muda sudah dipercaya menjadi asisten Bupati. Sementara Ponco, pasukan Satpol PP. Sehingga hampir saban hari pasca-bekerja. Ponco dan Silo mengistiqomahkan kebiasaan lama. Kongko-kongko. Ngopi-ngopi. Tapi no smoking.

Sebenarnya, saat di SD, rangking Ponco lebih baik dari Silo. Sehingga meski senjang taraf pendidikannya, tapi Ponco mampu mengimbangi Silo saat bergulat pikir dalam 'guyon maton' mereka.

Ya. Mereka sering berdiskusi soal apa saja. Se-mood mereka.

Asiknya, dua-duanya hoby membaca buku-buku tebal dan menulis di blog "Nitizen_Bersatu".

Hari ini mereka masih saja gayeng membicarakan jejak Ibrahim dan warisan spiritualnya.

Ponco: [penasaran] Mas Silo, aku pernah dengar cerita tentang cicak yang meniup api saat Nabi Ibrahim dilempar ke dalam kobaran api. Benarkah itu? Kedengarannya kayak dongeng.

Silo: [tersenyum] Memang cerita itu sering membuat orang berpikir begitu, Ponco. Tapi kisah itu sebenarnya punya makna yang dalam, lho. Mau aku jelaskan?

Ponco: Tentu, Mas! Aku jadi penasaran, apa sih maksudnya?

Silo: Dalam hadis Rasulullah SAW, cicak memang disebutkan sebagai hewan yang berusaha meniupkan api untuk memperbesar kobaran api yang membakar Nabi Ibrahim. Karena itu, Nabi menganjurkan umatnya untuk membunuh cicak.

Ponco: Tapi, Mas, cicak kecil gitu mana mungkin meniup api besar?

Silo: Nah, itu poin pentingnya. Ini bukan soal kemampuan fisik cicak, tapi simbolisme dari perbuatan cicak. Cicak di sini melambangkan upaya kecil yang bisa merugikan atau memperbesar keburukan. Makanya, hikmah dari kisah ini adalah kita diajarkan untuk menjauhi hal-hal yang berpotensi membawa kerugian, sekecil apa pun itu.

Ponco: [mengangguk] Jadi bukan soal cicaknya benar-benar meniup api, ya?

Silo: Tepat. Dan menariknya lagi, Sayyidah Aisyah r.a., istri Nabi, selalu menyediakan galah untuk memukul cicak. Bahkan, dalam pemahamannya, tokek juga dianggap bagian dari keluarga cicak.

Ponco: Oh, jadi tokek juga dianggap serupa? Aku baru tahu. Tapi apa ini artinya kita harus selalu memukul cicak?

Silo: Fokusnya bukan pada perintah memukul cicak semata, tapi pada nilai yang diajarkan Nabi SAW: membasmi keburukan sekecil apa pun. Kalau cicak di rumah tidak membahayakan, ya tidak perlu kita berlebihan.

Ponco: Hmm, masuk akal sih. Tapi aku masih heran, kenapa kisah seperti ini sering terdengar tidak logis, ya?

Silo: Pertanyaan bagus, Ponco. Inilah ujian iman. Kadang, akal kita merasa sulit menerima sesuatu yang berasal dari wahyu. Tapi, kita diajarkan untuk percaya bahwa hikmah Allah melampaui logika manusia.

Ponco: Jadi maksudnya, iman itu lebih tinggi dari logika?

Silo: Bukan soal lebih tinggi, tapi keduanya punya peran yang berbeda. Iman mengajarkan kita menerima kebenaran wahyu, sementara logika membantu kita memahami dunia. Dalam hal ini, iman membantu kita memahami nilai spiritual yang mungkin tidak bisa dijelaskan oleh logika.

Ponco: Wah, aku mulai paham sekarang. Terus, soal Sayyidah Aisyah tadi, ada yang menarik nggak dari beliau terkait kisah ini?

Silo: Ada. Sayyidah Aisyah r.a. menunjukkan kelembutan dan rasa hormat yang luar biasa pada Nabi SAW, bahkan saat beliau sedang kesal. Beliau pernah berkata, "Demi Tuhannya Ibrahim," sebagai tanda emosi, tapi tetap menjaga kehormatan Nabi dengan tidak menyebut langsung nama beliau.

Ponco: [terkesan] Keren banget. Jadi kita juga diajarkan untuk tetap menjaga sopan santun, ya, meskipun sedang kesal?

Silo: Betul sekali, Ponco. Itu salah satu pelajaran berharga dari kisah ini.

Ponco: Makasih, Mas Silo. Penjelasanmu bikin aku makin paham. Ternyata, di balik cerita sederhana, ada makna yang dalam banget.

Silo: Sama-sama, Ponco. Hikmah itu memang sering tersembunyi di balik hal-hal kecil. Yang penting, kita terus belajar dan mencoba memahami.

[Dialog berakhir dengan Ponco dan Silo melanjutkan obrolan ringan sambil menyeruput teh.]

BERSAMBUNG.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun