"Leiden is lijden," gumamnya pelan. Ia tahu, itu bukan sekadar ungkapan lagi. Itu adalah kenyataan pahit yang kini harus ia hadapi.
Sekarang, Mas Eko sadar. "Glory" itu bukan tujuan yang sejati. Itu adalah ilusi yang semakin menjauh, seperti bayang-bayang yang lenyap ketika diterpa cahaya.
Maya menatapnya dengan ekspresi penuh penyesalan. "Mas Eko, saya... saya tidak tahu apa yang harus dilakukan lagi," katanya, suaranya hampir hilang.
Mas Eko menutup pintu rapat-rapat, duduk kembali, dan memandangi kegelapan yang menyelubungi ruang itu, dengan satu pertanyaan yang terus menggema di dalam hatinya: Apakah masih ada tempat untuk keagungan yang sejati di dunia ini?
Ketika pintu rapat itu akhirnya tertutup, Mas Eko merasakan kepedihan yang mendalam. Di luar sana, Ardi dan yang lainnya masih berlarian mengejar "glory," sementara dia hanya bisa menyaksikan kehancuran yang telah ia bantu ciptakan, dengan cara yang paling tak terduga: mencari kemenangan, justru dengan kehilangan segalanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H