Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Infobesia

Kepala Sekolah SDN Kuryokalangan 02, Gabus Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur Media Didaktik Indonesia [MDI]: bimbingan belajar, penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah bereputasi SINTA. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mas Eko dan "Glory" yang Hilang

26 November 2024   20:44 Diperbarui: 26 November 2024   20:46 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Mas Eko dan "Glory" yang Hilang. dokpri

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Suasana di ruang rapat terasa mencekam. Lampu neon yang menyinari meja panjang itu memberi kesan dingin, menciptakan bayangan yang tak bisa dihindari. Mas Eko duduk di ujung meja, wajahnya tegas namun tampak sedikit lelah. Matanya menerawang ke depan, seolah mencari sesuatu yang hilang. Sesuatu yang sudah lama ia cari, tapi kini semakin terasa jauh.

"Mas, kita harus ambil langkah besar. Ini waktunya! Glory! Itu yang kita tuju!" suara Ardi, asisten muda yang baru beberapa bulan bekerja dengan Mas Eko, bergetar penuh semangat. Wajahnya cerah, matanya berbinar seperti anak muda yang menemukan jawabannya setelah sekian lama mencari.

Mas Eko menghela napas panjang, matanya masih menatap kosong ke arah jendela. Sejak tadi, dia tak pernah benar-benar mendengarkan apa yang Ardi katakan. Hanya satu yang terdengar jelas dalam pikirannya: kata "glory" yang kini terasa semakin hampa.

"Glory, Ardi. Ya, glory..." Mas Eko mulai berbicara, namun suaranya lemah. "Tapi ingat, itu bukan untuk kepentingan pribadi. Dulu, ada yang mengajarkan saya soal 'leiden is lijden.' Itu maksudnya, memimpin itu menderita. Tanggung jawab, bukan hanya sekadar pencapaian."

Ardi tertawa, terkekeh-kekeh. "Mas Eko, itu dulu! Dulu ketika kita masih menghargai 'keagungan' sebagai teladan. Tapi sekarang ini, kita hidup di dunia yang serba cepat, serba instan. Semuanya ingin 'sekarang'. Kita tidak bisa terus-menerus bergantung pada cerita masa lalu."

Suasana di meja rapat itu semakin panas. Mas Eko menatap Ardi dengan tatapan tajam. Rasa kecewa menggelayuti hatinya, namun dia berusaha menahan amarah yang hampir meledak. "Dan apa yang kau tawarkan, Ardi? Kejayaan tanpa makna? Kejayaan yang dilupakan begitu saja ketika kita meraihnya?" Suaranya lebih dalam, penuh penekanan.

Ardi menyeringai. "Itulah yang kita butuhkan! Hasil yang nyata, Mas. Sekarang bukan saatnya lagi untuk hidup dalam bayang-bayang. Kita butuh pencapaian, kita butuh 'glory'."

Mas Eko terdiam, memandang mereka satu per satu. Seperti ada sesuatu yang tiba-tiba runtuh di dalam hatinya. Apa yang mereka kejar? Sesuatu yang abadi, atau hanya bayang-bayang yang akan hilang ketika mereka sampai di tujuan?

Tiba-tiba, pintu terbuka. Maya, salah satu anggota tim yang jarang muncul di rapat, masuk dengan tergesa-gesa. Wajahnya tampak khawatir, matanya berbinar, namun dengan ekspresi yang sulit dipahami.

"Mas Eko... saya baru saja mendapat informasi yang sangat penting. Terkait dengan... proyek besar yang kita jalankan," Maya mulai ragu, namun cepat menguasai diri. "Ternyata, ada yang sedang bermain di belakang kita."

Semua mata kini tertuju pada Maya. Mas Eko, yang biasanya tenang, sepertinya merasakan angin buruk. "Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya tiba-tiba bergetar. Sesuatu yang buruk akan datang, dan dia tahu itu.

Maya menarik napas, lalu berkata dengan suara serak, "Ada orang dalam yang mengubah arah seluruh proyek kita. Mereka bekerja untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kebaikan bersama. Mereka menggunakan 'glory' sebagai kedok, tapi tujuan sebenarnya adalah menguasai segalanya."

Ruangan itu mendadak sunyi. Ardi menatap Maya dengan cemas, sementara Mas Eko hanya duduk diam, wajahnya semakin muram.

"Apa yang kita perjuangkan selama ini ternyata hanya ilusi?" tanya Mas Eko dengan suara yang hampir tak terdengar.

Maya menunduk. "Saya rasa... ini lebih besar daripada yang kita bayangkan."

Di antara bisu yang menggantung, Mas Eko berdiri. "Jadi, semua yang aku bangun selama ini, semua yang aku pegang teguh, ternyata... ternyata hanya untuk menjadi alat bagi mereka?" Suaranya semakin keras, penuh kekecewaan.

Suasana semakin mencekam. Ardi membuka mulut untuk berkata sesuatu, namun tak bisa melanjutkan kalimatnya. Wajahnya pucat. Hatinya mulai dipenuhi rasa bersalah yang tak terungkapkan.

"Sekarang aku tahu," Mas Eko melanjutkan, suaranya memecah kesunyian. "Semua yang aku lakukan selama ini... semua itu hanya untuk mereka. Mereka yang hanya ingin memanfaatkan nama besar, memanfaatkan 'glory' yang ternyata kosong."

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki berat. Ruangan itu menjadi lebih gelap, seolah ada yang mengintip dari balik bayangan. Mas Eko melangkah mundur, menatap pintu yang tertutup rapat.

Dan saat itulah, sebuah tawa teredam terdengar dari balik pintu itu, begitu asing dan menakutkan. Mas Eko menoleh ke arah pintu, namun ketika ia membuka pintu itu, tidak ada siapa pun di sana. Hanya ruangan kosong yang menunggu.

"Leiden is lijden," gumamnya pelan. Ia tahu, itu bukan sekadar ungkapan lagi. Itu adalah kenyataan pahit yang kini harus ia hadapi.

Sekarang, Mas Eko sadar. "Glory" itu bukan tujuan yang sejati. Itu adalah ilusi yang semakin menjauh, seperti bayang-bayang yang lenyap ketika diterpa cahaya.

Maya menatapnya dengan ekspresi penuh penyesalan. "Mas Eko, saya... saya tidak tahu apa yang harus dilakukan lagi," katanya, suaranya hampir hilang.

Mas Eko menutup pintu rapat-rapat, duduk kembali, dan memandangi kegelapan yang menyelubungi ruang itu, dengan satu pertanyaan yang terus menggema di dalam hatinya: Apakah masih ada tempat untuk keagungan yang sejati di dunia ini?

Ketika pintu rapat itu akhirnya tertutup, Mas Eko merasakan kepedihan yang mendalam. Di luar sana, Ardi dan yang lainnya masih berlarian mengejar "glory," sementara dia hanya bisa menyaksikan kehancuran yang telah ia bantu ciptakan, dengan cara yang paling tak terduga: mencari kemenangan, justru dengan kehilangan segalanya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun