Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jejak Karma

25 November 2024   05:08 Diperbarui: 25 November 2024   07:21 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Di sebuah desa kecil yang terlupakan, terdapat seorang perempuan bernama Aruna. Ia dikenal karena keteguhan hatinya dan sikap dinginnya terhadap kehidupan sekitar. Aruna menjalani hari-harinya dengan penuh rutinitas---menanam, merawat kebun, dan menjaga rumah tua yang diwariskan oleh orang tuanya. Ia tidak peduli dengan desas-desus tentang masa lalu atau ramalan masa depan. Yang ia tahu, dunia ini penuh dengan ketidakadilan dan penderitaan. Jika seseorang tidak menjaga jarak, mereka akan terluka.

Suatu hari, seorang lelaki asing datang ke desa. Namanya Kiran, seorang pengelana yang tampaknya sudah lama mengembara. Ia membawa cerita-cerita tentang kehidupan masa lalu dan masa depan, berbicara tentang karma dan jejak yang tertinggal dari setiap perbuatan. Kiran menarik perhatian banyak orang, tapi Aruna---dengan skeptisisme yang tak tergoyahkan---hanya memandangnya dari kejauhan.

"Karma," kata Kiran dengan suara berat suatu sore, saat seluruh desa berkumpul di alun-alun. "Apa yang kita lakukan hari ini adalah cermin dari apa yang kita perbuat di kehidupan yang lalu. Dan apa yang kita lakukan hari ini akan menjadi buah karma yang kita petik di masa mendatang."

Aruna hanya tersenyum pahit dan berbicara pelan kepada dirinya sendiri, "Karma itu hanya cerita kosong untuk menenangkan jiwa yang gelisah. Jika ada sesuatu yang bisa mengubah hidup, itu adalah usaha sendiri, bukan takdir yang datang entah dari mana."

Namun, tanpa disadari oleh Aruna, kata-kata itu mulai menggantung di pikirannya. Apakah benar ada sesuatu yang lebih besar dari usaha dan kemauan? Apakah ada kaitan antara apa yang dilakukannya hari ini dengan apa yang telah terjadi di masa lalu, atau lebih penting lagi, apa yang akan terjadi nanti?

Malam itu, saat Aruna duduk di ambang pintu rumahnya, sebuah bayangan muncul di depannya. Ia terperanjat saat melihat seorang wanita tua, mengenakan pakaian lusuh, berdiri di sana. Wajahnya penuh kerut, namun ada sesuatu yang familiar di matanya.

"Siapa kamu?" tanya Aruna dengan suara serak, merasa tak nyaman.

Wanita itu tersenyum samar. "Aku adalah bayangan dari kehidupan yang lalu. Aku datang untuk memberitahumu bahwa apa yang kamu lihat hari ini adalah akibat dari perbuatanmu di masa lalu."

Aruna menggigil, namun tetap mencoba untuk tetap tenang. "Aku tak mengenalmu."

Wanita itu mendekat, seolah angin malam membawanya lebih dekat ke hati Aruna. "Aku adalah bagian dari dirimu yang terlupakan. Kamu lupa bahwa di kehidupan yang lalu, kamu membuat pilihan yang menyakiti banyak orang. Kamu mengorbankan orang lain demi keuntunganmu sendiri, dan kini, karmamu muncul dalam bentuk kesepian ini."

Aruna terdiam, hatinya mulai bergetar. "Karma? Itu hanya dongeng untuk menakut-nakuti orang."

Wanita itu menggeleng. "Karma tidak hanya tentang apa yang kamu lakukan. Itu juga tentang bagaimana perasaan orang lain yang terkena dampaknya. Kini kamu melihat dunia dengan cara yang berbeda, karena di kehidupan yang lalu, kamu tidak pernah peduli dengan rasa sakit orang lain."

Wanita itu menghilang dalam kabut, meninggalkan Aruna dengan pertanyaan yang menggantung di udara. Aruna tak tahu apakah itu hanya mimpi, ataukah kenyataan yang tiba-tiba menemuinya. Namun, apa yang dikatakan wanita itu terus berputar dalam pikirannya. Karma.

Hari-hari berlalu, dan Aruna mulai memperhatikan hal-hal kecil dalam hidupnya yang dulu tak ia pedulikan. Setiap kali seseorang berbicara kepadanya, ia merasa cemas, seolah ada sesuatu yang harus ia selesaikan. Ia tidak lagi merasa nyaman dengan dunia yang terisolasi di sekitarnya. Rasa sakit yang tak jelas, rasa kesepian yang mendalam, menyelinap ke dalam hidupnya.

Pada suatu hari, saat Aruna sedang merawat kebunnya, ia melihat Kiran lagi. Kali ini, lelaki itu tidak hanya berbicara tentang karma, tetapi juga tentang apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki keadaan.

"Aruna," kata Kiran suatu sore saat mereka bertemu di ladang, "apa yang kamu lakukan hari ini adalah benih dari buah karma yang akan kamu petik nanti."

Aruna memutar mata, "Aku sudah cukup mendengar omong kosong tentang karma, Kiran. Aku sudah cukup dengan apa yang bisa kulakukan sendiri."

Kiran menatapnya dengan tatapan penuh pengertian. "Aku mengerti, tapi tahukah kamu bahwa karma itu bukan hanya tentang akibat? Itu juga tentang kesempatan yang kita miliki untuk memperbaiki diri. Jika kamu merasa dunia ini penuh ketidakadilan, itu karena kamu belum memandangnya dengan mata hati."

Aruna terdiam, kata-kata Kiran meresap dalam dirinya. "Jadi, apa yang harus aku lakukan?" tanyanya perlahan.

"Mulailah dengan hal kecil. Berikan lebih banyak perhatian pada orang-orang di sekitarmu. Tidak semua orang di dunia ini beruntung. Tidak semua orang sekeras dirimu," jawab Kiran, tersenyum tipis.

Aruna terdiam, merenung. Hari-hari setelah pertemuan itu, ia mulai mencoba mengubah cara pandangnya. Ia mulai lebih perhatian pada tetangga-tetangganya, membantu yang membutuhkan, dan mencoba untuk tidak terlalu keras terhadap orang lain. Ternyata, hal kecil itu membawa perubahan besar dalam hidupnya.

Beberapa bulan kemudian, kebunnya berkembang dengan subur, lebih indah daripada sebelumnya. Tidak hanya itu, Aruna juga mulai merasa lebih damai, lebih terhubung dengan orang-orang di desanya. Ia menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil---sebuah senyuman, sapaan, atau bahkan sekadar mendengarkan seseorang bercerita.

Suatu sore, saat Aruna sedang duduk di teras rumahnya, Kiran kembali muncul. Kali ini, wajahnya tidak lagi serius, melainkan penuh senyum. "Kamu telah menemukan jawabannya," katanya.

Aruna menatapnya, merasa seolah ada sesuatu yang berat di hatinya yang terangkat. "Aku... aku mulai memahami. Karma itu bukan hanya tentang apa yang terjadi padaku, tapi apa yang aku lakukan sekarang."

Kiran mengangguk. "Benar. Apa yang kamu pilih hari ini adalah buah yang akan kamu petik di masa depan."

Aruna tersenyum. "Jadi, karma yang buruk bisa berubah menjadi kebaikan?"

"Benar. Semua tergantung pada apa yang kamu pilih untuk lakukan sekarang. Masa lalu hanyalah bayangan, masa depan adalah pilihan," kata Kiran dengan suara lembut.

Aruna merasa damai. Ia mengerti bahwa karma bukanlah takdir yang tak bisa diubah. Karma adalah benih yang kita tanam hari ini, dan buahnya tergantung pada apa yang kita perbuat sekarang.

Dengan pemahaman itu, Aruna merasa bebas. Bebas dari masa lalu yang membelenggunya, dan bebas untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun