Aruna terdiam, hatinya mulai bergetar. "Karma? Itu hanya dongeng untuk menakut-nakuti orang."
Wanita itu menggeleng. "Karma tidak hanya tentang apa yang kamu lakukan. Itu juga tentang bagaimana perasaan orang lain yang terkena dampaknya. Kini kamu melihat dunia dengan cara yang berbeda, karena di kehidupan yang lalu, kamu tidak pernah peduli dengan rasa sakit orang lain."
Wanita itu menghilang dalam kabut, meninggalkan Aruna dengan pertanyaan yang menggantung di udara. Aruna tak tahu apakah itu hanya mimpi, ataukah kenyataan yang tiba-tiba menemuinya. Namun, apa yang dikatakan wanita itu terus berputar dalam pikirannya. Karma.
Hari-hari berlalu, dan Aruna mulai memperhatikan hal-hal kecil dalam hidupnya yang dulu tak ia pedulikan. Setiap kali seseorang berbicara kepadanya, ia merasa cemas, seolah ada sesuatu yang harus ia selesaikan. Ia tidak lagi merasa nyaman dengan dunia yang terisolasi di sekitarnya. Rasa sakit yang tak jelas, rasa kesepian yang mendalam, menyelinap ke dalam hidupnya.
Pada suatu hari, saat Aruna sedang merawat kebunnya, ia melihat Kiran lagi. Kali ini, lelaki itu tidak hanya berbicara tentang karma, tetapi juga tentang apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki keadaan.
"Aruna," kata Kiran suatu sore saat mereka bertemu di ladang, "apa yang kamu lakukan hari ini adalah benih dari buah karma yang akan kamu petik nanti."
Aruna memutar mata, "Aku sudah cukup mendengar omong kosong tentang karma, Kiran. Aku sudah cukup dengan apa yang bisa kulakukan sendiri."
Kiran menatapnya dengan tatapan penuh pengertian. "Aku mengerti, tapi tahukah kamu bahwa karma itu bukan hanya tentang akibat? Itu juga tentang kesempatan yang kita miliki untuk memperbaiki diri. Jika kamu merasa dunia ini penuh ketidakadilan, itu karena kamu belum memandangnya dengan mata hati."
Aruna terdiam, kata-kata Kiran meresap dalam dirinya. "Jadi, apa yang harus aku lakukan?" tanyanya perlahan.
"Mulailah dengan hal kecil. Berikan lebih banyak perhatian pada orang-orang di sekitarmu. Tidak semua orang di dunia ini beruntung. Tidak semua orang sekeras dirimu," jawab Kiran, tersenyum tipis.
Aruna terdiam, merenung. Hari-hari setelah pertemuan itu, ia mulai mencoba mengubah cara pandangnya. Ia mulai lebih perhatian pada tetangga-tetangganya, membantu yang membutuhkan, dan mencoba untuk tidak terlalu keras terhadap orang lain. Ternyata, hal kecil itu membawa perubahan besar dalam hidupnya.