Beberapa bulan kemudian, kebunnya berkembang dengan subur, lebih indah daripada sebelumnya. Tidak hanya itu, Aruna juga mulai merasa lebih damai, lebih terhubung dengan orang-orang di desanya. Ia menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil---sebuah senyuman, sapaan, atau bahkan sekadar mendengarkan seseorang bercerita.
Suatu sore, saat Aruna sedang duduk di teras rumahnya, Kiran kembali muncul. Kali ini, wajahnya tidak lagi serius, melainkan penuh senyum. "Kamu telah menemukan jawabannya," katanya.
Aruna menatapnya, merasa seolah ada sesuatu yang berat di hatinya yang terangkat. "Aku... aku mulai memahami. Karma itu bukan hanya tentang apa yang terjadi padaku, tapi apa yang aku lakukan sekarang."
Kiran mengangguk. "Benar. Apa yang kamu pilih hari ini adalah buah yang akan kamu petik di masa depan."
Aruna tersenyum. "Jadi, karma yang buruk bisa berubah menjadi kebaikan?"
"Benar. Semua tergantung pada apa yang kamu pilih untuk lakukan sekarang. Masa lalu hanyalah bayangan, masa depan adalah pilihan," kata Kiran dengan suara lembut.
Aruna merasa damai. Ia mengerti bahwa karma bukanlah takdir yang tak bisa diubah. Karma adalah benih yang kita tanam hari ini, dan buahnya tergantung pada apa yang kita perbuat sekarang.
Dengan pemahaman itu, Aruna merasa bebas. Bebas dari masa lalu yang membelenggunya, dan bebas untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H