Kerumunan mulai bubar, namun bisikan kagum terdengar di mana-mana. Mereka salut pada sikap Bima yang tenang dan bijak. Pak Burhan, yang merasa sangat malu, mendekati Mbah Surti setelah semuanya selesai.
"Mbah, kenapa Bima tidak marah atau membalas?" tanyanya, masih kebingungan.
Mbah Surti tersenyum bijak. "Karena dia tahu, Nak Burhan. Kalau kita tidak suka diperlakukan buruk, kita juga tidak boleh memperlakukan orang lain dengan buruk. Itulah tepa selira. Bima sudah menunjukkan bahwa dia lebih besar daripada amarahnya."
Malamnya, Pak Burhan mendatangi rumah Bima dengan membawa satu keranjang telur ayam. "Ini untukmu," ujarnya tulus. "Sebagai permintaan maafku."
Bima tersenyum dan menerimanya. Sejak hari itu, Pak Burhan berubah. Ia menjadi lebih sabar dan berhati-hati dalam menilai orang lain.
Di bawah sinar bulan, Bima menatap bintang-bintang sambil tersenyum lega. Ia menyadari, dengan tidak membalas keburukan, ia telah menyiramkan kasih sayang seperti hujan yang mendamaikan bumi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H