OLEH: Khoeri Abdul Muid
Pagi itu, di Desa Sukamaju, suasana pasar seperti biasa ramai oleh pedagang dan pembeli. Namun, sebuah keributan tiba-tiba menarik perhatian banyak orang. Di tengah pasar, Pak Burhan, seorang peternak ayam yang dikenal galak, sedang memarahi seorang pemuda bernama Bima.
"Berani-beraninya kamu mencuri ayamku!" suara Pak Burhan menggelegar, menarik perhatian banyak orang.
"Aku nggak mencuri, Pak!" jawab Bima, suaranya gemetar. "Aku hanya lewat di depan kandang, lalu ayam itu tiba-tiba keluar. Aku bahkan menangkapnya kembali untuk mengembalikannya ke kandang."
Pak Burhan tidak peduli. "Kamu pencuri! Kalau nggak, kenapa ayamku bisa keluar?!"
Kerumunan semakin ramai, saling berbisik. Sebagian memihak Pak Burhan karena reputasinya, sementara yang lain merasa kasihan pada Bima, seorang pemuda miskin yang selama ini dikenal jujur.
"Bukti apa yang Bapak punya? Kalau memang aku mencuri, tunjukkan!" Bima mencoba membela diri, meski matanya sudah berkaca-kaca.
Pak Burhan mendengus. "Aku nggak perlu bukti! Aku tahu orang sepertimu hanya pura-pura baik!"
Di tempat lain, di balik kebun jagung yang lebat, seorang wanita tua mengamati kejadian itu dengan raut wajah prihatin. Mbah Surti, begitu orang memanggilnya, adalah seorang nenek bijak yang dihormati di desa itu. Ia berjalan mendekat dengan tongkat kayunya, menembus kerumunan yang mulai memanas.
"Burhan," panggilnya lembut, namun tegas. "Ada apa ini?"
Pak Burhan menoleh, suaranya masih penuh amarah. "Mbah, anak ini mencuri ayam saya!"
"Sudah ada buktinya?" tanya Mbah Surti, menatapnya tajam.
Pak Burhan terdiam sejenak, lalu menggeleng kesal. "Tapi siapa lagi kalau bukan dia?!"
Mbah Surti tersenyum tipis. "Kadang prasangka itu lebih berbahaya daripada kebenaran yang sesungguhnya, Nak Burhan. Kalau memang tidak ada bukti, sebaiknya kamu jangan sembarang menuduh. Bagaimana perasaanmu kalau posisimu ditukar dengan anak ini?"
Pak Burhan terlihat bingung. Namun, sebelum ia sempat menjawab, seorang anak kecil tiba-tiba berlari dari arah rumahnya. Anak itu memegang sebuah pintu kandang ayam yang rusak.
"Bapak!" serunya. "Kandang ayamnya rusak, pintunya copot sendiri tadi pagi."
Hening seketika. Semua mata tertuju pada Pak Burhan, yang kini tampak salah tingkah. Ia menatap pintu kandang itu, lalu melihat Bima yang masih berdiri dengan wajah penuh luka batin.
"M-maaf..." gumam Pak Burhan, suaranya pelan.
Bima terdiam. Hatinya mendidih, ingin sekali ia membalas kemarahan yang tadi ia terima. Tapi, kata-kata Mbah Surti terngiang di telinganya.
"Kalau aku tidak suka diperlakukan seperti itu, apa pantas aku membalasnya dengan kejahatan juga?" pikir Bima.
Ia menarik napas panjang, lalu berkata, "Tidak apa-apa, Pak Burhan. Tapi lain kali, jangan mudah menuduh orang tanpa bukti."
Kerumunan mulai bubar, namun bisikan kagum terdengar di mana-mana. Mereka salut pada sikap Bima yang tenang dan bijak. Pak Burhan, yang merasa sangat malu, mendekati Mbah Surti setelah semuanya selesai.
"Mbah, kenapa Bima tidak marah atau membalas?" tanyanya, masih kebingungan.
Mbah Surti tersenyum bijak. "Karena dia tahu, Nak Burhan. Kalau kita tidak suka diperlakukan buruk, kita juga tidak boleh memperlakukan orang lain dengan buruk. Itulah tepa selira. Bima sudah menunjukkan bahwa dia lebih besar daripada amarahnya."
Malamnya, Pak Burhan mendatangi rumah Bima dengan membawa satu keranjang telur ayam. "Ini untukmu," ujarnya tulus. "Sebagai permintaan maafku."
Bima tersenyum dan menerimanya. Sejak hari itu, Pak Burhan berubah. Ia menjadi lebih sabar dan berhati-hati dalam menilai orang lain.
Di bawah sinar bulan, Bima menatap bintang-bintang sambil tersenyum lega. Ia menyadari, dengan tidak membalas keburukan, ia telah menyiramkan kasih sayang seperti hujan yang mendamaikan bumi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H