Angga menghela napas panjang. "Baiklah. Tapi kita mulai dari dasar. Lari itu bukan cuma soal menang, tapi soal bertahan."
Anak-anak itu bersorak. Dan pagi itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Angga berlari lagi.
Bulan-bulan berlalu. Desa kecil itu berubah. Anak-anak yang dulu belajar dari Angga kini mulai menjuarai lomba-lomba di tingkat daerah. Nama Angga kembali disebut, bukan sebagai mantan juara, tapi sebagai pelatih yang menginspirasi.
Hingga suatu hari, salah satu anak didiknya, Raka, datang membawa sebuah piala besar.
"Ini untuk Mas Angga," katanya sambil tersenyum. "Kalau bukan karena Mas, aku nggak akan pernah menang."
Angga memandangi piala itu, lalu menatap anak-anak lain yang mengelilinginya. Ada harapan di mata mereka, harapan yang dulu pernah ia miliki.
"Tahu nggak," katanya sambil tertawa kecil, "piala itu nggak akan sempurna tanpa kerja keras kalian. Tapi ingat, menang itu cuma sebagian kecil dari hidup. Apa pun yang kalian dapatkan, tetap bersyukur."
Malam itu, Angga meletakkan piala baru di sebelah piala lamanya yang retak. Ia tersenyum, bukan karena kemenangan masa lalu, tapi karena akhirnya ia mengerti: hidup memang tak sempurna, tapi selalu ada keindahan di balik kekurangannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H