Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama.
Setahun setelah kemenangan itu, ayahnya meninggal karena kecelakaan kerja. Ibu Angga, yang tak sanggup menanggung kesedihan, semakin sakit hingga akhirnya menyusul. Rumah kecil mereka dijual untuk melunasi utang. Angga, yang saat itu baru berusia 17 tahun, harus bekerja serabutan untuk bertahan hidup.
Piala yang dulu ia banggakan kini terasa seperti beban.
"Buat apa aku menang kalau akhirnya seperti ini?" gumamnya suatu malam, saat hujan deras mengguyur. Ia menatap piala itu dengan kemarahan dan keputusasaan. "Uripku ora sampurna. Aku ora bisa bahagia."
Pagi itu, sebuah ketukan di pintu membangunkan Angga.
"Mas Angga, aku mau belajar lari," ujar seorang anak kecil dengan wajah polos.
Angga terkejut. Di belakang anak itu, ada beberapa teman sebayanya yang ikut mengangguk penuh semangat.
"Kami dengar Mas Angga dulu juara lari. Kami juga mau jadi juara!"
Angga mengernyit, bingung. "Aku sudah nggak lari lagi. Piala itu cuma kenangan."
"Tapi, Mas, kami nggak punya pelatih. Kalau Mas Angga nggak ngajarin, kami nggak akan pernah tahu caranya menang."
Kata-kata itu menusuk hati Angga. Ia memandang anak-anak itu, lalu ke piala retak di mejanya. Sejenak, ia teringat kata-kata ayahnya: Urip kuwi ora sampurna, tapi syukuri apa yang kamu punya.