OLEH: Khoeri Abdul Muid
Malam itu, hujan turun deras. Angga duduk di sudut kamar sempitnya, menatap sebuah piala retak yang tersimpan di atas meja. Piala itu adalah kenangannya---satu-satunya tanda bahwa ia pernah menjadi juara dalam sebuah lomba lari tingkat nasional, bertahun-tahun yang lalu. Tapi bagi Angga, piala itu juga adalah pengingat luka terbesar dalam hidupnya.
"Pak, aku yakin bisa menang lagi!" kata Angga dengan penuh semangat pada ayahnya suatu hari, di masa lalu yang terasa seperti mimpi.
Ayahnya, seorang buruh tani, tersenyum tipis. "Tapi, Ga, lomba ini butuh biaya. Bapak sudah nggak punya uang untuk daftar dan beli sepatu barumu."
"Bapak percaya aku, kan?" tanya Angga, matanya berbinar. "Kalau aku menang, hadiahnya bisa buat bayar utang kita. Buat bikin hidup kita lebih baik!"
Ayahnya terdiam lama, menatap anaknya yang penuh tekad itu. "Kalau begitu, kita coba. Tapi janji, kalau gagal, kamu harus tetap bersyukur. Urip kuwi ora sampurna, Nak."
Angga mengangguk. Saat itu, keyakinannya tak tergoyahkan.
Hari lomba pun tiba. Dengan sepatu tua yang solnya sudah menipis, Angga melangkah ke garis start. Ia tahu, anak-anak lain memakai sepatu mahal dan mendapat dukungan penuh dari keluarga mereka. Tapi ia tak peduli. Ia berlari dengan segenap kekuatan, membayangkan ayahnya yang bekerja keras di ladang, membayangkan ibunya yang sudah lama sakit-sakitan.
Dan ia menang.
Angga berdiri di podium, memegang piala itu dengan bangga. Orang-orang bersorak, menyebut namanya. Saat ia pulang membawa piala dan hadiah uang, ia merasa seperti pahlawan.
Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama.
Setahun setelah kemenangan itu, ayahnya meninggal karena kecelakaan kerja. Ibu Angga, yang tak sanggup menanggung kesedihan, semakin sakit hingga akhirnya menyusul. Rumah kecil mereka dijual untuk melunasi utang. Angga, yang saat itu baru berusia 17 tahun, harus bekerja serabutan untuk bertahan hidup.
Piala yang dulu ia banggakan kini terasa seperti beban.
"Buat apa aku menang kalau akhirnya seperti ini?" gumamnya suatu malam, saat hujan deras mengguyur. Ia menatap piala itu dengan kemarahan dan keputusasaan. "Uripku ora sampurna. Aku ora bisa bahagia."
Pagi itu, sebuah ketukan di pintu membangunkan Angga.
"Mas Angga, aku mau belajar lari," ujar seorang anak kecil dengan wajah polos.
Angga terkejut. Di belakang anak itu, ada beberapa teman sebayanya yang ikut mengangguk penuh semangat.
"Kami dengar Mas Angga dulu juara lari. Kami juga mau jadi juara!"
Angga mengernyit, bingung. "Aku sudah nggak lari lagi. Piala itu cuma kenangan."
"Tapi, Mas, kami nggak punya pelatih. Kalau Mas Angga nggak ngajarin, kami nggak akan pernah tahu caranya menang."
Kata-kata itu menusuk hati Angga. Ia memandang anak-anak itu, lalu ke piala retak di mejanya. Sejenak, ia teringat kata-kata ayahnya: Urip kuwi ora sampurna, tapi syukuri apa yang kamu punya.
Angga menghela napas panjang. "Baiklah. Tapi kita mulai dari dasar. Lari itu bukan cuma soal menang, tapi soal bertahan."
Anak-anak itu bersorak. Dan pagi itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Angga berlari lagi.
Bulan-bulan berlalu. Desa kecil itu berubah. Anak-anak yang dulu belajar dari Angga kini mulai menjuarai lomba-lomba di tingkat daerah. Nama Angga kembali disebut, bukan sebagai mantan juara, tapi sebagai pelatih yang menginspirasi.
Hingga suatu hari, salah satu anak didiknya, Raka, datang membawa sebuah piala besar.
"Ini untuk Mas Angga," katanya sambil tersenyum. "Kalau bukan karena Mas, aku nggak akan pernah menang."
Angga memandangi piala itu, lalu menatap anak-anak lain yang mengelilinginya. Ada harapan di mata mereka, harapan yang dulu pernah ia miliki.
"Tahu nggak," katanya sambil tertawa kecil, "piala itu nggak akan sempurna tanpa kerja keras kalian. Tapi ingat, menang itu cuma sebagian kecil dari hidup. Apa pun yang kalian dapatkan, tetap bersyukur."
Malam itu, Angga meletakkan piala baru di sebelah piala lamanya yang retak. Ia tersenyum, bukan karena kemenangan masa lalu, tapi karena akhirnya ia mengerti: hidup memang tak sempurna, tapi selalu ada keindahan di balik kekurangannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H