OLEH: Khoeri Abdul Muid
Marni duduk mematung di teras rumah Widayat, tangan gemetar dan wajah pucat pasi. Ia baru saja meluapkan kegelisahannya, namun bukannya mendapat solusi, Widayat malah tertawa geli.
"Serius, Mas Widayat! Ini bukan candaan!" sergah Marni, suaranya meninggi.
Widayat menatap serius, senyum di ujung bibirnya tak hilang. "Tunggu, tunggu. Mari kita pikirkan ini dengan kepala dingin. Ngidam itu biasanya soal makanan atau hal-hal sentimental, bukan menyuruh suaminya menyentuh tubuh perempuan lain."
"Justru itu, Mas. Aku rasa ini semacam jebakan," jawab Marni.
Dengan napas panjang, Widayat berdiri dan melangkah ke dapur, kembali membawa dua cangkir kopi. "Dengar, Marni. Aku rasa ini lebih dalam dari sekadar ngidam. Kau harus bicara dari hati ke hati dengan istrimu. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya."
Namun, Marni tak menemukan keberanian itu malam itu. Ketakutannya mengalahkan logikanya. Ia malah berbaring di sofa ruang tamu, membayangkan segala kemungkinan buruk.
Keesokan paginya, Ferya duduk di ruang makan, menatap suaminya dengan pandangan tajam. "Kamu sudah putuskan? Kalau tidak, aku akan mengurus ini sendiri," ujarnya dingin.
"Ferya, ini gila. Aku tidak bisa melakukannya. Kamu tahu itu!" jawab Marni dengan resah.
"Kamu lebih peduli pada tubuh Mbak Rina daripada anak kita?!" Ferya berteriak, suaranya pecah dengan emosi.
Marni terdiam sejenak, mencoba meredam ketegangan. "Ini bukan soal Mbak Rina atau anak kita. Ini soal... logika. Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Ferya? Kenapa harus seperti ini?"
Ferya terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku tidak tahu. Aku hanya... merasa tidak cukup. Aku hamil, tubuhku berubah. Aku merasa... kamu tidak melihatku seperti dulu."
Marni tertegun. "Ferya, kamu tahu aku mencintaimu, kan?"
"Tapi cinta tidak cukup! Aku merasa tak dihargai. Aku ingin kamu membuktikan, meski dengan cara gila seperti ini."
Hari berlalu, dan Marni masih tak menemukan jalan keluar. Di suatu sore, ia memutuskan mengunjungi Rina Sari, membawa serta Widayat sebagai mediator.
"Mbak Rina, saya tahu ini aneh, tapi Ferya sedang ngidam... dan ini melibatkan Anda," ujar Marni dengan malu-malu.
Rina mengangkat alis. "Ngidam? Ngidam apa, Mas?"
Marni menjelaskan situasinya dengan tergagap, sementara Widayat berusaha menjaga percakapan tetap ringan. Rina terdiam lama sebelum akhirnya tertawa keras.
"Mas Marni, kenapa tidak dari dulu bilang? Aku ini sudah tahu Ferya sering insecure. Aku ikut bantu."
Rina mengatur sebuah rencana sederhana: ia mengajak Ferya ke salon, memberi perhatian lebih pada penampilan Ferya yang selama ini terabaikan. Mereka berbincang dari hati ke hati, membuat Ferya merasa lebih percaya diri.
Namun, malam itu, sebuah tragedi terjadi. Ferya, dalam perjalanan pulang, mengalami kecelakaan. Ia terpeleset di tangga rumah karena tergesa-gesa. Bayi yang dikandungnya tidak bisa diselamatkan.
Marni hancur, begitu pula Ferya. Mereka tidak hanya kehilangan anak yang dinantikan, tetapi juga sebagian dari harapan mereka sebagai pasangan.
Di depan pusara kecil yang tidak sempat diberi nama, Ferya berbisik, "Aku hanya ingin dicintai tanpa syarat. Maafkan aku, Marni."
Marni menggenggam tangannya erat. "Aku selalu mencintaimu, Ferya. Dan cinta itu tak akan hilang, meski kita kehilangan sesuatu yang berharga."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H