Marni terdiam sejenak, mencoba meredam ketegangan. "Ini bukan soal Mbak Rina atau anak kita. Ini soal... logika. Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Ferya? Kenapa harus seperti ini?"
Ferya terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku tidak tahu. Aku hanya... merasa tidak cukup. Aku hamil, tubuhku berubah. Aku merasa... kamu tidak melihatku seperti dulu."
Marni tertegun. "Ferya, kamu tahu aku mencintaimu, kan?"
"Tapi cinta tidak cukup! Aku merasa tak dihargai. Aku ingin kamu membuktikan, meski dengan cara gila seperti ini."
Hari berlalu, dan Marni masih tak menemukan jalan keluar. Di suatu sore, ia memutuskan mengunjungi Rina Sari, membawa serta Widayat sebagai mediator.
"Mbak Rina, saya tahu ini aneh, tapi Ferya sedang ngidam... dan ini melibatkan Anda," ujar Marni dengan malu-malu.
Rina mengangkat alis. "Ngidam? Ngidam apa, Mas?"
Marni menjelaskan situasinya dengan tergagap, sementara Widayat berusaha menjaga percakapan tetap ringan. Rina terdiam lama sebelum akhirnya tertawa keras.
"Mas Marni, kenapa tidak dari dulu bilang? Aku ini sudah tahu Ferya sering insecure. Aku ikut bantu."
Rina mengatur sebuah rencana sederhana: ia mengajak Ferya ke salon, memberi perhatian lebih pada penampilan Ferya yang selama ini terabaikan. Mereka berbincang dari hati ke hati, membuat Ferya merasa lebih percaya diri.
Namun, malam itu, sebuah tragedi terjadi. Ferya, dalam perjalanan pulang, mengalami kecelakaan. Ia terpeleset di tangga rumah karena tergesa-gesa. Bayi yang dikandungnya tidak bisa diselamatkan.