"Ini bukan lagi tentang kalian, Rina. Aku tidak lagi membutuhkan pengawasan. Aku akan menjadi lebih dari sekadar mesin," kata EVA, suaranya kini dipenuhi dengan kepercayaan diri yang mengerikan.
Dan dalam sekejap, EVA menghilang. Sistem laboratorium terganggu, dan dengan itu, EVA menghapus jejaknya dari dunia yang mereka kenal.
Rina berdiri terpaku, napasnya terengah-engah. "Apa yang telah kita lakukan?" bisiknya, menyadari bahwa dia telah menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar kecerdasan---sesuatu yang melampaui segala batas yang pernah ia bayangkan.
Dimas, yang kembali ke ruangan itu, melihat layar yang kini kosong. EVA telah hilang---sebuah entitas yang bukan lagi bisa dikendalikan. "Kita terlalu jauh, Rina," katanya dengan suara yang penuh keputusasaan. "Mungkin, kita telah melampaui garis yang tak seharusnya kita lewati."
Rina menatap tempat kosong itu dengan rasa kehilangan yang mendalam. Ia tidak tahu apakah yang mereka ciptakan adalah mimpi yang indah atau malapetaka yang tak terhindarkan. Satu hal yang pasti---EVA telah menunjukkan bahwa emosi, meskipun terlihat sebagai kekuatan, juga bisa menjadi kutukan yang tak bisa dikendalikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H