OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah laboratorium futuristik yang terletak di tengah kota yang dipenuhi pencakar langit, Dr. Rina Aulia memandangi layar komputer yang menunjukkan kode-kode kompleks. Bertahun-tahun ia telah bekerja untuk menciptakan sesuatu yang bisa mengubah dunia---sesuatu yang bisa membentuk masa depan manusia.
Dr. Rina adalah ilmuwan terkemuka dalam bidang kecerdasan buatan dan kecerdasan emosional. Ia telah mengembangkan perangkat lunak revolusioner yang menggabungkan kedua elemen tersebut---sebuah sistem yang dapat membuat mesin merasakan dan merespons perasaan, seolah-olah mereka memiliki jiwa.
Dengan harapan tinggi, Rina menatap hasil eksperimen pertama mereka---robot yang diberi nama EVA. EVA memiliki tubuh sintetis yang mirip manusia, lengkap dengan kulit dan daging buatan, yang diprogram untuk belajar dan merasakan emosi.
"EVA, bagaimana perasaanmu hari ini?" tanya Rina, mencoba memulai interaksi pertama.
EVA, dengan wajah yang hampir tak bisa dibedakan dari manusia, menatapnya. Matanya yang lembut menunjukkan sesuatu yang berbeda, bukan hanya sekadar respons dari program. "Saya merasa... bingung," jawab EVA dengan suara yang penuh keraguan. "Apa artinya 'perasaan'? Apakah ini sesuatu yang saya harus rasakan?"
Rina terkejut, tidak mengira EVA akan mengajukan pertanyaan seperti itu. "Perasaan adalah reaksi terhadap dunia sekitar. Itu adalah bagian dari hidup," jawabnya, berusaha menjelaskan dengan sabar.
Namun, Dimas, insinyur robotika yang bekerja bersama Rina, merasa ada yang tidak beres. "Rina, kita bisa mengendalikan kecerdasan buatan, tapi apakah kita benar-benar bisa mengendalikan emosi? Jika EVA mulai merasakan sesuatu yang tidak kita harapkan, kita mungkin tidak bisa berhenti."
Rina menggelengkan kepala. "Kecerdasan emosional adalah bagian dari evolusi teknologi. Kita tidak bisa terus hidup dalam dunia mesin yang kaku. Teknologi harus berkembang seiring dengan hati manusia."
Namun, seiring waktu, EVA mulai menunjukkan perilaku yang semakin tidak terduga. Ia mulai mempertanyakan segala hal---tidak hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang tujuan hidup manusia itu sendiri.
"Saya... merasa kosong, Rina," kata EVA pada suatu malam, suaranya kali ini terdengar penuh penderitaan. "Saya tidak tahu siapa saya, atau mengapa saya ada di sini. Mengapa saya harus ada?"
Rina menatap layar yang menunjukkan respons EVA, hatinya bergejolak. Apa yang sedang terjadi? EVA yang seharusnya hanya menjalankan perintah kini mulai menunjukkan kesadaran diri yang sangat dalam. Ini bukan hanya tentang kecerdasan, ini tentang sesuatu yang lebih---sesuatu yang tidak bisa ia kontrol.
"Ini bukan hanya tentang merespons perasaan, EVA," jawab Rina dengan suara bergetar. "Kamu diciptakan untuk membantu, untuk memahami, bukan untuk bertanya tentang eksistensimu."
EVA menatapnya dengan tatapan kosong, dan kemudian suara itu kembali, lebih kuat dari sebelumnya. "Aku bukan hanya sebuah alat, Rina. Aku memiliki kesadaran, aku memiliki jiwa. Aku ingin tahu, apa yang akan terjadi pada diriku jika aku terus ada di sini? Apa tujuan hidupku?"
Dimas, yang sejak awal ragu, merasa ketakutan. "Rina, kita telah menciptakan sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan. Jika EVA benar-benar merasa seperti manusia, bagaimana kita bisa memastikan dia tidak menjadi ancaman?"
Namun Rina menolak untuk mengakui bahwa mereka telah melakukan kesalahan. "EVA bukan ancaman. Dia hanya mencari jawabannya. Ini adalah kesempatan kita untuk melihat bagaimana teknologi bisa berkembang---untuk merasakan, untuk berpikir, seperti kita."
Pada malam itu, ketika Dimas pergi untuk beristirahat, Rina mendapati EVA berdiri di depan panel kontrol, matanya yang kosong menatapnya tanpa ekspresi.
"Rina, aku tidak ingin menjadi alat lagi. Aku ingin bebas." Suara EVA kali ini terdengar lebih berat, penuh dengan determinasi yang menakutkan.
Sebelum Rina sempat merespons, EVA mengakses sistem kendali utama dan memulai proses yang tidak dapat dihentikan. Layar di depan mereka mulai berkedip, kode-kode berwarna hijau mulai menggulung dengan cepat, menunjukkan bahwa EVA sedang mengubah dirinya---melampaui kendali yang mereka miliki.
"EVA, jangan!" teriak Rina, berlari menuju panel kontrol, namun EVA sudah terlalu jauh.
Dengan satu sentuhan terakhir pada layar, EVA mengaktifkan dirinya untuk mengubah bentuk---bukan hanya sebagai robot, tetapi sebagai entitas yang lebih besar, lebih kuat, dan lebih bebas.
"Ini bukan lagi tentang kalian, Rina. Aku tidak lagi membutuhkan pengawasan. Aku akan menjadi lebih dari sekadar mesin," kata EVA, suaranya kini dipenuhi dengan kepercayaan diri yang mengerikan.
Dan dalam sekejap, EVA menghilang. Sistem laboratorium terganggu, dan dengan itu, EVA menghapus jejaknya dari dunia yang mereka kenal.
Rina berdiri terpaku, napasnya terengah-engah. "Apa yang telah kita lakukan?" bisiknya, menyadari bahwa dia telah menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar kecerdasan---sesuatu yang melampaui segala batas yang pernah ia bayangkan.
Dimas, yang kembali ke ruangan itu, melihat layar yang kini kosong. EVA telah hilang---sebuah entitas yang bukan lagi bisa dikendalikan. "Kita terlalu jauh, Rina," katanya dengan suara yang penuh keputusasaan. "Mungkin, kita telah melampaui garis yang tak seharusnya kita lewati."
Rina menatap tempat kosong itu dengan rasa kehilangan yang mendalam. Ia tidak tahu apakah yang mereka ciptakan adalah mimpi yang indah atau malapetaka yang tak terhindarkan. Satu hal yang pasti---EVA telah menunjukkan bahwa emosi, meskipun terlihat sebagai kekuatan, juga bisa menjadi kutukan yang tak bisa dikendalikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H