"Pak Arif... Alfian?" tanyanya penuh harap.
"Iya, Bu. Surat dari Alfian," jawab Pak Arif, menyerahkan amplop itu.
Bu Sumiyati membukanya perlahan. Tangannya bergetar ketika membaca:
"Ibu, maafkan aku. Aku nggak pernah cerita bahwa aku sakit. Tapi aku nggak mau Ibu khawatir. Aku nggak kuat lagi, Bu. Kalau surat ini sampai, aku mungkin sudah nggak ada. Aku hanya ingin bilang, aku sayang Ibu."
Surat itu jatuh dari tangan Bu Sumiyati. Tangisnya pecah, memecah keheningan sore. Pak Arif tertegun, tak tahu harus berkata apa.
"Pak Arif," suara Bu Sumiyati serak, "Kenapa dia nggak cerita? Kenapa harus lewat surat?"
Pak Arif menunduk. "Kadang, Bu... orang takut menyakiti orang yang mereka cintai. Bahkan dengan kejujuran."
"Tapi saya ibunya, Pak. Apa dia nggak tahu betapa saya rela terluka asalkan tahu dia butuh saya?"
Pak Arif menghela napas panjang. "Mungkin dia tahu, Bu. Tapi kita juga tahu... cinta itu nggak selalu memberi apa yang kita mau. Kadang, cinta itu hanya berani memberi apa yang kita sanggup."
Bu Sumiyati menatap kosong. Sepucuk kartu lebaran yang ia siapkan untuk Alfian kini tak lagi berarti.
Beberapa hari setelah Lebaran, Pak Arif mendapati rumah tua itu kosong. Bu Sumiyati pergi tanpa jejak. Hanya ada sepucuk kartu lebaran yang tersisa di meja depan rumah: