Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Terakhir dari Pak Pos

19 November 2024   16:30 Diperbarui: 19 November 2024   16:32 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Dulu, ketika ponsel belum ada, SMS belum dikenal, apalagi WhatsApp, kehadiran Pak Pos adalah momen yang dinanti.

Lebaran semakin dekat, dan rumah-rumah di kampung itu selalu riuh dengan kebahagiaan sederhana: kartu-kartu lebaran dengan ucapan tangan.

Pak Arif, sang Pak Pos, menjadi sosok yang dielu-elukan. Pria berusia 50-an itu selalu mengayuh sepedanya dengan semangat, meski hujan atau terik menyengat. Ia mengenali setiap sudut desa, menghafal nama-nama penghuni rumah hingga anak-anak mereka. Tapi ada satu rumah yang selalu membuatnya resah. Rumah tua di ujung desa itu.

"Pak Arif, kenapa kartu lebaran dari rumah itu nggak pernah dibalas?" tanya Joko, anak kecil yang sering membantu Pak Arif mengangkat tumpukan surat.

Pak Arif hanya tersenyum kecil, tak pernah menjawab. Ia tahu, surat dari rumah tua itu selalu ditujukan untuk seseorang yang tak pernah membalas.

Hari itu, tiga hari menjelang Lebaran, Pak Arif menerima sebuah surat dengan perangko antik. Surat itu beralamatkan ke rumah tua tersebut, atas nama "Bu Sumiyati." Tangannya gemetar ketika membuka tasnya untuk menyimpan surat itu.

Mata Pak Arif berair. Ia tahu siapa pengirim surat itu: "Alfian," seorang pemuda yang dahulu tinggal di rumah itu sebelum ia pergi merantau ke kota besar.

Lima tahun lalu, surat-surat Alfian selalu datang tiap bulan, dengan cerita panjang tentang perjuangan hidupnya di kota. Tapi sejak dua tahun terakhir, surat itu tak pernah lagi ada. Hanya keheningan yang mengisi ruang harapan Bu Sumiyati. Hingga pagi itu.

Pak Arif mengayuh sepedanya menuju rumah tua itu. Perjalanan terasa lebih berat, seperti ada beban yang menahan langkahnya. Ia mengetuk pintu, dan Bu Sumiyati muncul dengan senyum lelah.

"Pak Arif... Alfian?" tanyanya penuh harap.

"Iya, Bu. Surat dari Alfian," jawab Pak Arif, menyerahkan amplop itu.

Bu Sumiyati membukanya perlahan. Tangannya bergetar ketika membaca:

"Ibu, maafkan aku. Aku nggak pernah cerita bahwa aku sakit. Tapi aku nggak mau Ibu khawatir. Aku nggak kuat lagi, Bu. Kalau surat ini sampai, aku mungkin sudah nggak ada. Aku hanya ingin bilang, aku sayang Ibu."

Surat itu jatuh dari tangan Bu Sumiyati. Tangisnya pecah, memecah keheningan sore. Pak Arif tertegun, tak tahu harus berkata apa.

"Pak Arif," suara Bu Sumiyati serak, "Kenapa dia nggak cerita? Kenapa harus lewat surat?"

Pak Arif menunduk. "Kadang, Bu... orang takut menyakiti orang yang mereka cintai. Bahkan dengan kejujuran."

"Tapi saya ibunya, Pak. Apa dia nggak tahu betapa saya rela terluka asalkan tahu dia butuh saya?"

Pak Arif menghela napas panjang. "Mungkin dia tahu, Bu. Tapi kita juga tahu... cinta itu nggak selalu memberi apa yang kita mau. Kadang, cinta itu hanya berani memberi apa yang kita sanggup."

Bu Sumiyati menatap kosong. Sepucuk kartu lebaran yang ia siapkan untuk Alfian kini tak lagi berarti.

Beberapa hari setelah Lebaran, Pak Arif mendapati rumah tua itu kosong. Bu Sumiyati pergi tanpa jejak. Hanya ada sepucuk kartu lebaran yang tersisa di meja depan rumah:

"Alfian, selamat jalan. Ibu akan mencari jalan untuk bertemu lagi."

Pak Arif menyeka air matanya. Sepedanya kini terasa lebih ringan, meski hatinya tidak. Setiap kayuhnya mengingatkan bahwa menjadi pengantar pesan bukan sekadar profesi; ia adalah saksi sunyi dari perpisahan dan kehilangan.

Dan sejak itu, rumah tua di ujung desa itu hanya menjadi cerita. Tentang seorang ibu yang menunggu anaknya, dan seorang anak yang pulang hanya lewat surat terakhir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun