Makan malam berlalu dalam keheningan. Aku menikmati bebek yang gurih, sambel pencitt yang membuat lidah terbakar nikmat. Yam, seperti biasa, makan pelan. Sisa ayam di piringnya masih banyak.
"Sambel pencitt-nya enak, ya?" tanyanya tiba-tiba.
Aku mengangguk. "Tapi tetep aja, ayam di resto bebek itu nggak masuk akal."
Dia tersenyum, lalu berkata dengan nada santai, "Aku nggak pernah suka bebek. Bukan masalah rasa, tapi ada sejarahnya."
"Sejarah apa?" tanyaku, penasaran.
Yam meletakkan sendoknya, menatapku lurus. "Waktu kecil, aku pernah lihat ayahku bunuh bebek di depan mataku. Bebek itu nggak langsung mati. Dia berontak, berlari tanpa kepala, darahnya muncrat ke mana-mana. Sejak itu, aku nggak pernah mau makan bebek."
Semua orang di meja terdiam. Yam kembali makan dengan tenang, seolah cerita barusan adalah hal biasa.
Setelah makan, kami menyeberangi Suramadu dalam suasana senyap. Angin laut menampar wajahku dari kaca yang sedikit terbuka.
"Besok aku nggak ikut," kata Yam tiba-tiba.
Aku menoleh. "Kenapa? Kamu nggak mau ikut ke destinasi terakhir kita?"
Dia tersenyum samar. "Aku punya urusan lain. Udah lama aku tunda."