OLEH: Khoeri Abdul Muid
Mentari sore menembus kaca mobil, menemani perjalanan kami menuju Sinjay. Aku, Yam, dan beberapa teman, capek setelah berburu oleh-oleh di Genteng. Mobil terasa pengap oleh tumpukan tas kresek berisi aneka kue kering dan keripik.
"Yam, makan dulu, yuk. Sinjay, setuju?" kataku sambil menepuk bahunya.
Yam hanya mengangguk, tatapannya menerawang ke luar jendela. "Iya, aku lapar."
Sinjay sudah jauh berbeda dari pertama kali aku ke sana. Restorannya kini besar, penuh orang, dan atmosfernya terasa hidup. Semua orang terlihat sama: lapar, tergiur aroma sambal pencitt.
Pelayan datang. Aku langsung pesan, "Bebek goreng satu, sambel pencitt banyak, ya."
Giliran Yam. Dia menatap pelayan tanpa ekspresi. "Ayam goreng satu."
Aku melongo. "Serius, Yam? Ayam? Ini Sinjay!"
Dia hanya tersenyum tipis. "Kenapa? Salah, ya?"
Aku mendengus, membiarkannya. Yam memang aneh, tapi itu bagian dari dirinya yang kami terima.
Makan malam berlalu dalam keheningan. Aku menikmati bebek yang gurih, sambel pencitt yang membuat lidah terbakar nikmat. Yam, seperti biasa, makan pelan. Sisa ayam di piringnya masih banyak.
"Sambel pencitt-nya enak, ya?" tanyanya tiba-tiba.
Aku mengangguk. "Tapi tetep aja, ayam di resto bebek itu nggak masuk akal."
Dia tersenyum, lalu berkata dengan nada santai, "Aku nggak pernah suka bebek. Bukan masalah rasa, tapi ada sejarahnya."
"Sejarah apa?" tanyaku, penasaran.
Yam meletakkan sendoknya, menatapku lurus. "Waktu kecil, aku pernah lihat ayahku bunuh bebek di depan mataku. Bebek itu nggak langsung mati. Dia berontak, berlari tanpa kepala, darahnya muncrat ke mana-mana. Sejak itu, aku nggak pernah mau makan bebek."
Semua orang di meja terdiam. Yam kembali makan dengan tenang, seolah cerita barusan adalah hal biasa.
Setelah makan, kami menyeberangi Suramadu dalam suasana senyap. Angin laut menampar wajahku dari kaca yang sedikit terbuka.
"Besok aku nggak ikut," kata Yam tiba-tiba.
Aku menoleh. "Kenapa? Kamu nggak mau ikut ke destinasi terakhir kita?"
Dia tersenyum samar. "Aku punya urusan lain. Udah lama aku tunda."
"Urusan apa?"
"Nyelesaikan sesuatu," jawabnya singkat.
Dua minggu kemudian, aku menerima telepon yang membuatku membeku. Yam ditemukan meninggal di sebuah kamar hotel kecil di Surabaya. Sebuah surat ada di samping tubuhnya.
"Aku pernah bilang soal bebek, kan? Sebenarnya bukan ayahku yang membunuh bebek itu. Aku yang melakukannya. Dan itu bukan bebek biasa. Itu bebek peliharaan kakakku. Dia marah besar, dan sejak hari itu, dia nggak pernah mau bicara lagi denganku. Malam ini, aku mau minta maaf... meski dia sudah lama tiada."
Aku tertegun membaca surat itu. Semua yang terjadi di Sinjay---ayamnya, sambel pencitt-nya, tatapan kosong Yam---tiba-tiba terasa begitu nyata. Perjalanan terakhirnya di Surabaya bukan sekadar makan ayam di resto nasi bebek. Itu adalah caranya berdamai dengan masa lalu yang membelenggu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H