Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bayang-Bayang Kepentingan

19 November 2024   10:42 Diperbarui: 19 November 2024   10:42 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Surya Kencana, kota kecil yang ambisius. 

Dua nama besar pernah menyinari setiap sudutnya: Arjuna Mahardika dan Pramudya Karna. Bersama, mereka adalah simbol harapan, mengubah wajah kota dari korupsi menjadi transparansi. Namun, kepentingan perlahan mencabik persahabatan itu.

Pemilihan wali kota berikutnya membawa mereka ke jalan berbeda. Arjuna bertahan sebagai politisi independen, menjaga idealismenya untuk rakyat kecil. Pramudya, di sisi lain, bergabung dengan koalisi besar yang disokong oligarki demi percepatan pembangunan.

"Aku tak percaya ini, Dya," kata Arjuna di sebuah kafe usang tempat mereka dulu sering berdiskusi. "Kamu tahu siapa mereka. Mereka hanya ingin mencengkeram kota ini."

Pramudya tersenyum getir. "Dan kamu pikir kita bisa bertarung melawan mereka dengan idealisme kosong? Dunia ini bukan hitam putih, Jun. Aku memilih jalan yang bisa memberi hasil nyata."

"Nyata untuk siapa? Investor? Atau dirimu sendiri?" balas Arjuna, suaranya meninggi.

Pertemuan itu berakhir tanpa jawaban. Keduanya melangkah ke arah berlawanan, meninggalkan jejak rasa kecewa yang mendalam.

Kampanye memanas. Pramudya menjanjikan pembangunan kawasan industri dan infrastruktur megah. Arjuna menyerukan perlindungan rakyat kecil dan lingkungan.

Namun, di balik janji-janji itu, dokumen rahasia bocor ke tangan Arjuna. Proyek besar Pramudya melibatkan perusahaan yang diduga melakukan penggusuran ilegal dan pencemaran lingkungan. Lebih buruk lagi, dokumen itu memuat tanda tangan Pramudya, mengesahkan perjanjian gelap.

Arjuna tak bisa tinggal diam. Malam itu, ia mendatangi rumah Pramudya dengan membawa dokumen tersebut.

"Kamu sudah tahu aku akan menemukan ini," kata Arjuna, meletakkan dokumen di meja.

Pramudya menatap kertas itu sekilas, lalu bersandar di kursi dengan wajah lelah. "Dan apa rencanamu, Jun? Membeberkannya ke publik? Menghancurkanku?"

"Beri aku alasan untuk tidak melakukannya."

Pramudya terdiam. Ia berjalan ke jendela, menatap lampu kota yang berkelap-kelip. "Mereka mengancam keluargaku, Jun. Aku tidak punya pilihan. Kalau aku melawan, mereka akan menghancurkan bukan hanya aku, tapi semua yang kusayangi."

Arjuna terkejut. "Dya, kenapa kamu tidak bicara padaku? Kita bisa melawan mereka bersama!"

"Melawan mereka?" Pramudya berbalik, matanya tajam. "Kamu tahu apa yang terjadi pada orang yang menentang mereka? Mereka akan dipaksa menyerah, atau lebih buruk, dimusnahkan."

Suasana menjadi hening. Arjuna menatap sahabatnya dengan kekecewaan mendalam. "Kalau begitu, kamu sudah kalah sejak awal."

Keesokan harinya, kabar besar mengguncang kota. Pramudya ditangkap atas tuduhan korupsi dan penggelapan. Media meliputnya tanpa henti, menayangkan wajah lelahnya mengenakan rompi oranye.

Namun, beberapa hari kemudian, kabar yang lebih mengejutkan datang. Pramudya ditemukan tewas di sel tahanannya. Polisi menyebutnya bunuh diri, tetapi Arjuna curiga ada sesuatu yang lebih besar.

Di tengah duka, Arjuna menerima surat tanpa nama. Isinya hanya satu kalimat: "Dia tak akan pernah menang."

Arjuna menggenggam surat itu dengan tangan gemetar. Ia tahu ini bukan akhir dari perjuangan, melainkan awal dari sesuatu yang lebih menyeramkan.

Di pemakaman Pramudya, Arjuna berdiri dalam kesunyian. Ia membawa bibit pohon kecil, lalu menanamnya di atas makam sahabatnya.

"Sebuah pohon untuk harapan, Dya," bisiknya pelan. "Mungkin kita gagal kali ini, tapi mimpi kita tak akan mati."

Lampu-lampu kota berkelap-kelip di kejauhan, menyinari bayang-bayang kepentingan yang masih menyelimuti Surya Kencana. Di dunia politik, kemenangan sering kali tak berarti, dan kekalahan lebih berarti daripada yang terlihat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun