Arjuna tak bisa tinggal diam. Malam itu, ia mendatangi rumah Pramudya dengan membawa dokumen tersebut.
"Kamu sudah tahu aku akan menemukan ini," kata Arjuna, meletakkan dokumen di meja.
Pramudya menatap kertas itu sekilas, lalu bersandar di kursi dengan wajah lelah. "Dan apa rencanamu, Jun? Membeberkannya ke publik? Menghancurkanku?"
"Beri aku alasan untuk tidak melakukannya."
Pramudya terdiam. Ia berjalan ke jendela, menatap lampu kota yang berkelap-kelip. "Mereka mengancam keluargaku, Jun. Aku tidak punya pilihan. Kalau aku melawan, mereka akan menghancurkan bukan hanya aku, tapi semua yang kusayangi."
Arjuna terkejut. "Dya, kenapa kamu tidak bicara padaku? Kita bisa melawan mereka bersama!"
"Melawan mereka?" Pramudya berbalik, matanya tajam. "Kamu tahu apa yang terjadi pada orang yang menentang mereka? Mereka akan dipaksa menyerah, atau lebih buruk, dimusnahkan."
Suasana menjadi hening. Arjuna menatap sahabatnya dengan kekecewaan mendalam. "Kalau begitu, kamu sudah kalah sejak awal."
Keesokan harinya, kabar besar mengguncang kota. Pramudya ditangkap atas tuduhan korupsi dan penggelapan. Media meliputnya tanpa henti, menayangkan wajah lelahnya mengenakan rompi oranye.
Namun, beberapa hari kemudian, kabar yang lebih mengejutkan datang. Pramudya ditemukan tewas di sel tahanannya. Polisi menyebutnya bunuh diri, tetapi Arjuna curiga ada sesuatu yang lebih besar.
Di tengah duka, Arjuna menerima surat tanpa nama. Isinya hanya satu kalimat: "Dia tak akan pernah menang."