Pembicara menjawab bijak, tetapi saat itu Dina merasa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Usai seminar, Fikri mengajak mereka ke warung makan legendaris, "Karto Nyaman." Aroma ayam goreng kampung dan sambal khas langsung menggoda mereka yang kelelahan.
"Ini ayam kampung atau tiket VIP ke surga?" seru Akbar setelah suapan pertama.
Tawa pecah. Rafi bahkan menyeka air mata sambil berkata, "Aku nggak nyangka perjalanan literasi ini juga punya menu pamungkas."
Namun, suasana santai itu berubah hening saat Dina menerima telepon dari ibunya. Wajahnya pucat. "Aku harus ke Solo sekarang," katanya, nyaris berbisik.
Rafi langsung sigap. "Ada apa, Din?"
Dina menelan ludah, menahan gemetar di suaranya. "Bapak... masuk rumah sakit. Jantungnya... dia koma."
Semua terdiam. Akbar segera menyelesaikan pembayaran, dan mereka bergegas ke mobil. Perjalanan ke Solo jadi sunyi, hanya suara ban melintasi aspal yang terdengar.
Ketika sampai di rumah sakit, Dina langsung berlari ke ruang ICU. Dia melihat bapaknya terbaring, tubuhnya dikelilingi selang dan monitor yang berbunyi pelan. Ibunya berdiri di samping tempat tidur, menatap kosong.
Dina mendekat. "Bu, gimana keadaan Bapak?"
Sang ibu menatap Dina dengan mata berkaca-kaca. "Din, tadi sebelum masuk ICU, Bapak sempat bilang satu hal... Dia bilang, dia bangga sama kamu. Katanya, 'Dina itu kayak teknologi... selalu tahu cara nyelamatin orang lain, tapi kadang lupa jaga dirinya sendiri.'"