OLEH: Khoeri Abdul Muid
Hujan malam itu menusuk dingin, seperti pisau yang menyayat hati. Aku duduk di sofa, memeluk bantal, memandangi pizza sisa yang tak lagi menggugah selera.
Di kepalaku, suara Pak Juno terus terngiang, "Tenang, Bu, saya selalu ada." Namun, sekarang dia tak ada lagi.
Kemarin, di pagi yang cerah, aku menyerahkan daftar barang yang harus diangkut kepada Pak Juno. Wajahnya sedikit pucat, seolah kelelahan.
"Nggak apa-apa, Bu. Ini tugas saya. Biar saya urus," katanya sambil membersihkan mobilnya.
Aku ragu, melihat betapa lelahnya dia dua hari terakhir, tapi acara yudisium dan PKK Tut Wuri Handayani terlalu penting untuk ditunda.
"Kalau Bapak capek, saya bisa cari orang lain..." kataku, sedikit cemas.
Dia menepuk bahunya. "Capek itu biasa, Bu. Yang penting acara Ibu lancar."
Aku menyodorkan termos kopi, seperti biasa. "Hati-hati ya, Pak. Terima kasih banyak."
Dia tersenyum kecil. "Nggak perlu berterima kasih. Selama saya masih bisa bantu, saya akan ada."
Siang itu, acara yudisium berlangsung lancar. Lima mahasiswa Civic Hukum---Nana Erna, Bintan, Hilman, Fera, dan Mirna---semuanya cumlaude. Saat foto bersama, Mirna mendekat. "Bu, boleh bicara sebentar?" suaranya pelan, hampir berbisik.
Kami berdiri di sudut ruangan. "Ada apa, Mir?" tanyaku.
Mirna menunduk, memutar jari-jarinya. "Saya cuma mau bilang, kalau bukan karena ibu dan... Pak Juno, saya nggak akan sampai di sini. Bapak sering nganterin saya pulang pas malam."
Aku mengangguk, tersenyum kecil. "Dia memang seperti itu, selalu mau membantu. Kamu juga hebat, Mir. Jangan lupa berterima kasih ke dia nanti."
Mirna mengangguk, tapi matanya menyimpan kegelisahan yang sulit dijelaskan.
Sore itu, acara PKK berjalan ramai. Ibu-ibu sibuk menghias pizza sambil bercanda. Dr. Chatia memandu dengan gaya santainya. "Kalau pizza gosong, salahkan saja Teflonnya, bukan toppingnya," katanya, membuat semua tertawa.
Aku membantu menghias topping pizza, menambahkan jamur kancing favoritku. Sambil mencicipi sana-sini, aku tidak sadar sudah makan tiga potong pizza.
Tiba-tiba, ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Pak Juno:
"Bu, barang-barang sudah aman di kampus. Saya pamit, ya. Ada urusan mendadak di rumah."
Aku membaca pesan itu dengan cepat, ragu sejenak, lalu membalas: "Hati-hati, Pak. Terima kasih banyak."
Pagi ini, pukul 06.00, suara ponselku membangunkanku. Sebuah pesan WhatsApp di grup kampus:
"Berita duka: Pak Juno meninggal dunia semalam dalam kecelakaan. Mobilnya tertabrak truk."
Aku tertegun. Dunia seolah berhenti berputar. Sebuah foto menyusul: mobilnya ringsek, barang-barang untuk acara berserakan di jalan. Aku membaca pesan itu berkali-kali, berharap itu hanya mimpi buruk. Tapi kenyataan berbicara lain.
Malam ini, aku duduk di sofa, menatap pizza yang tak lagi menarik. Hujan deras di luar mencerminkan perasaanku yang kacau.
Tiba-tiba, ponselku berdering. Mirna menelepon, suaranya serak, seperti habis menangis. "Bu, saya harus bilang sesuatu."
Aku mendengarkan dengan hati-hati.
"Semalam, Pak Juno menelepon saya. Dia bilang mau mampir mengantar sesuatu. Tapi saya bilang nggak usah, karena terlalu malam..." Mirna terisak. "Kalau saja saya nggak bilang itu, mungkin beliau nggak perlu pulang buru-buru dan..."
Aku terpaku. Jadi urusan mendadaknya adalah Mirna? Bukan keluarganya, bukan orang lain, tapi mahasiswa yang ingin dia bantu untuk terakhir kalinya.
Air mataku mengalir tanpa bisa dibendung. Bukan salah Mirna, bukan salah siapa pun. Tapi kenapa dunia ini begitu kejam pada orang sebaik Pak Juno?
"Tenang, Bu. Saya selalu ada," suaranya terngiang di kepalaku, namun kali ini, ia pergi untuk selamanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI