Mirna mengangguk, tapi matanya menyimpan kegelisahan yang sulit dijelaskan.
Sore itu, acara PKK berjalan ramai. Ibu-ibu sibuk menghias pizza sambil bercanda. Dr. Chatia memandu dengan gaya santainya. "Kalau pizza gosong, salahkan saja Teflonnya, bukan toppingnya," katanya, membuat semua tertawa.
Aku membantu menghias topping pizza, menambahkan jamur kancing favoritku. Sambil mencicipi sana-sini, aku tidak sadar sudah makan tiga potong pizza.
Tiba-tiba, ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Pak Juno:
"Bu, barang-barang sudah aman di kampus. Saya pamit, ya. Ada urusan mendadak di rumah."
Aku membaca pesan itu dengan cepat, ragu sejenak, lalu membalas: "Hati-hati, Pak. Terima kasih banyak."
Pagi ini, pukul 06.00, suara ponselku membangunkanku. Sebuah pesan WhatsApp di grup kampus:
"Berita duka: Pak Juno meninggal dunia semalam dalam kecelakaan. Mobilnya tertabrak truk."
Aku tertegun. Dunia seolah berhenti berputar. Sebuah foto menyusul: mobilnya ringsek, barang-barang untuk acara berserakan di jalan. Aku membaca pesan itu berkali-kali, berharap itu hanya mimpi buruk. Tapi kenyataan berbicara lain.
Malam ini, aku duduk di sofa, menatap pizza yang tak lagi menarik. Hujan deras di luar mencerminkan perasaanku yang kacau.
Tiba-tiba, ponselku berdering. Mirna menelepon, suaranya serak, seperti habis menangis. "Bu, saya harus bilang sesuatu."
Aku mendengarkan dengan hati-hati.
"Semalam, Pak Juno menelepon saya. Dia bilang mau mampir mengantar sesuatu. Tapi saya bilang nggak usah, karena terlalu malam..." Mirna terisak. "Kalau saja saya nggak bilang itu, mungkin beliau nggak perlu pulang buru-buru dan..."
Aku terpaku. Jadi urusan mendadaknya adalah Mirna? Bukan keluarganya, bukan orang lain, tapi mahasiswa yang ingin dia bantu untuk terakhir kalinya.