Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja Terakhir di Jembatan Merah

10 November 2024   20:02 Diperbarui: 10 November 2024   20:26 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Malam datang perlahan, menyelimuti Surabaya dengan keheningan yang mencekam. Peluh, darah, dan debu masih membekas di jalanan, sementara bangunan-bangunan yang hancur mengeluarkan api yang terus membakar. Suara tembakan mulai mereda, tetapi hawa panas dari pertempuran yang baru saja berlangsung masih terasa. Di antara reruntuhan, seorang pemuda berkepala plontos berdiri tegak. Napasnya terengah-engah, tetapi matanya tetap tajam menatap Jembatan Merah, tempat yang menjadi saksi bisu dari banyaknya nyawa yang melayang.

Pada 30 Oktober 1945, di tepi Jembatan Merah, Brigjen A.W.S. Mallaby, komandan Brigade 49 Tentara Sekutu, berdiri dengan percaya diri, memandang suramnya kota Surabaya. Ia memandang langit, seolah mempersiapkan diri untuk pertempuran yang tak terhindarkan.

Mallaby: "Mereka akan segera menyerah. Surabaya akan jatuh ke tangan kita."

Di belakangnya, pasukan Sekutu bersiap-siap, mata mereka penuh keyakinan. Namun, tak ada yang tahu siapa yang pertama kali melepaskan tembakan. Begitu cepat, suara tembakan itu menggema, dan ketegangan berubah menjadi kekacauan.

Pemuda Indonesia (berbisik pada temannya): "Jangan mundur, kita bertahan sampai mati."

Beberapa detik kemudian, Mallaby terjatuh. Tubuhnya tersungkur di atas aspal, darah mengalir di sepanjang jembatan. Suasana seketika menjadi hening.

Pemuda Indonesia (menatap Mallaby yang tergeletak): "Kita sudah membayar harga itu. Kini giliran kita."

Kematian Mallaby menjadi titik balik yang mengubah segalanya. Perang ini semakin nyata, semakin tak terhindarkan. Malam itu, para pejuang Indonesia yang telah bersiap untuk pertempuran besar menguatkan tekad mereka.

Saat kalender menunjuk 09 November 1945, suara radio menggema di seluruh kota. Mayjen Robert Mansergh, pengganti Brigjen Mallaby yang tewas, memberikan ultimatum kepada para pejuang Indonesia: mereka harus menyerah, atau Surabaya akan dihancurkan.

Mansergh (di radio): "Serahkan diri atau Surabaya akan dihancurkan. Pilihan ada di tangan kalian."

Di kediaman Bung Tomo, suasana tegang. Bung Tomo duduk, memegang mikrofon, matanya penuh kebulatan tekad. Ia menatap para pejuang di sekitarnya.

Bung Tomo (dengan suara lantang): "Lebih baik hancur daripada hidup tanpa kehormatan! Para pejuang, inilah saatnya kita berdiri teguh. Surabaya tidak akan menyerah!"

Para pejuang Indonesia yang mendengarkan radio itu saling menatap, wajah mereka penuh semangat. Mereka tahu ini adalah pertempuran hidup dan mati.

Pemuda Indonesia (berbisik kepada rekannya): "Kita bertahan. Kita takkan menyerah."

Pagi 10 November 1945, di sudut kota, suara Bung Tomo menggelora, memompa semangat para pejuang yang masih bertahan, yang bersembunyi di balik puing-puing kota yang porak-poranda.

Bung Tomo (di radio): "Merdeka atau mati!"

Suaranya menggema, memecah kesunyian malam yang menyesakkan. Para pemuda, meskipun tahu bahwa mereka takkan kembali, maju tanpa ragu. Mereka hanya punya satu pilihan: bertarung atau mati dalam kehinaan.

Tentara Sekutu datang dengan tank-tank dan persenjataan canggih. Sementara itu, para pejuang Indonesia hanya bersenjatakan bambu runcing dan senapan tua. Suara dentuman meriam dan tembakan bergema di seluruh penjuru kota.

Pemuda Indonesia (menatap tank Sekutu): "Mereka datang dengan kekuatan besar. Tapi kita takkan mundur."

Di tengah pertempuran yang mengerikan, ada satu keyakinan yang menguat: lebih baik mati dalam perlawanan daripada hidup kembali dalam penjajahan.

Di tengah kegelapan malam yang menutupi Surabaya, seorang pemuda berdiri di atas puing-puing kota yang telah hancur. Api dari bangunan yang terbakar menghangatkan wajahnya. Tubuh-tubuh yang tergeletak di Jembatan Merah dan di sepanjang jalan adalah bukti perjuangan yang tak pernah berhenti.

Pemuda Indonesia (dengan suara pelan, menatap langit): "Surabaya, kau akan hidup selamanya dalam ingatan kami. Tak ada yang akan bisa menghapus perjuangan ini."

Di balik debu dan darah yang mengotori tanah, ada semangat yang tak bisa padam. Pemuda itu menyeka darah yang mengalir dari bibirnya, namun matanya tetap tajam, tidak kehilangan harapan. Ia tahu, meskipun hari-hari ke depan penuh dengan ketidakpastian, Surabaya tetap akan hidup dalam ingatan sebagai simbol perjuangan.

Hening menyelimuti kota yang kini hanya bisa mengenang suara kemerdekaan yang pernah terdengar lantang. Dan di dalam diam itu, ada sebuah seruan yang tak perlu diucapkan---Surabaya tidak akan pernah mati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun