Mansergh (di radio): "Serahkan diri atau Surabaya akan dihancurkan. Pilihan ada di tangan kalian."
Di kediaman Bung Tomo, suasana tegang. Bung Tomo duduk, memegang mikrofon, matanya penuh kebulatan tekad. Ia menatap para pejuang di sekitarnya.
Bung Tomo (dengan suara lantang): "Lebih baik hancur daripada hidup tanpa kehormatan! Para pejuang, inilah saatnya kita berdiri teguh. Surabaya tidak akan menyerah!"
Para pejuang Indonesia yang mendengarkan radio itu saling menatap, wajah mereka penuh semangat. Mereka tahu ini adalah pertempuran hidup dan mati.
Pemuda Indonesia (berbisik kepada rekannya): "Kita bertahan. Kita takkan menyerah."
Pagi 10 November 1945, di sudut kota, suara Bung Tomo menggelora, memompa semangat para pejuang yang masih bertahan, yang bersembunyi di balik puing-puing kota yang porak-poranda.
Bung Tomo (di radio): "Merdeka atau mati!"
Suaranya menggema, memecah kesunyian malam yang menyesakkan. Para pemuda, meskipun tahu bahwa mereka takkan kembali, maju tanpa ragu. Mereka hanya punya satu pilihan: bertarung atau mati dalam kehinaan.
Tentara Sekutu datang dengan tank-tank dan persenjataan canggih. Sementara itu, para pejuang Indonesia hanya bersenjatakan bambu runcing dan senapan tua. Suara dentuman meriam dan tembakan bergema di seluruh penjuru kota.
Pemuda Indonesia (menatap tank Sekutu): "Mereka datang dengan kekuatan besar. Tapi kita takkan mundur."
Di tengah pertempuran yang mengerikan, ada satu keyakinan yang menguat: lebih baik mati dalam perlawanan daripada hidup kembali dalam penjajahan.