"Pak, Bu... kami dengar ada syukuran untuk Pak Riko. Tapi kenapa kami tidak diajak?" tanya Randi, salah satu mahasiswa aktif yang biasa berinteraksi dengan Pak Riko.
Ruangan hening sejenak. Tidak ada yang bermaksud membatasi kehadiran mahasiswa, namun memang panitia harus menyesuaikan undangan dengan anggaran terbatas.
Pak Joko, dengan ketenangannya, segera mengatasi situasi. "Kami benar-benar tidak bermaksud membatasi siapa yang datang. Hanya saja, anggarannya terbatas. Tapi jika kalian mau ikut, ayo bergabung! Acara ini untuk kita semua."
Wajah mahasiswa itu cerah kembali, dan mereka pun bergabung menikmati hidangan bersama para dosen. Suasana menjadi lebih meriah, dan kehadiran mahasiswa ternyata membawa keceriaan yang semakin melengkapi syukuran hari itu.
Pak Riko akhirnya datang, wajahnya berseri-seri melihat sambutan hangat dari rekan-rekan dosen dan para mahasiswa. Semua kegelisahan awal, konflik, dan perdebatan anggaran seakan terlupakan dalam suasana penuh tawa dan keakraban. Kami berkumpul, mengobrol, dan mengenang perjalanan Pak Riko hingga meraih gelar doktor yang membanggakan ini.
Sore itu, aku menyadari sesuatu: kadang, dalam keterbatasan dan perbedaan pendapat, justru hadir kehangatan yang merangkul kami semua. Syukuran kecil yang sederhana ini menjadi pengingat akan pentingnya kebersamaan di tengah dinamika yang ada.
Dan saat acara mulai bubar, aku beranjak keluar bersama beberapa dosen lainnya, tapi langkahku terhenti. Aku berbalik, menatap ruangan yang sudah sepi, hanya tersisa beberapa piring bekas dan sisa tawa yang masih membekas di udara. Di dalam hati, ada sesuatu yang...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H