OLEH: Khoeri Abdul Muid
Awal minggu itu, suasana rapat di Departemen Pedagogik terasa lebih tegang dari biasanya. Yang tadinya hanya sekadar pembahasan agenda bulanan, berubah menjadi diskusi panas ketika Pak Joko, ketua panitia, mengusulkan untuk mengadakan syukuran bagi Pak Riko---dosen senior yang baru saja meraih gelar doktor.
Masalahnya, anggaran kegiatan tengah ketat. Sebagian dosen keberatan, merasa bahwa prioritas anggaran sebaiknya dialokasikan untuk kebutuhan akademik atau kesejahteraan mahasiswa.
"Pak Joko, saya mengerti maksud Bapak baik, tapi syukuran mungkin bisa ditunda dulu. Anggaran kita terbatas," ujar Bu Rina, dosen muda yang vokal dalam rapat.
Pak Joko tetap tersenyum, walau terlihat sedikit tersudut. "Ini kan perayaan kecil-kecilan, sekadar bentuk apresiasi. Pak Riko sudah memberikan banyak kontribusi kepada kita dan para mahasiswa. Rasanya tak ada salahnya kita mengadakan acara sederhana untuk menghargai kerja kerasnya," balas Pak Joko dengan nada menenangkan.
Perdebatan berjalan panjang, dengan argumen yang bolak-balik. Beberapa dosen sepakat untuk mengadakan acara sederhana saja, dan akhirnya keputusan diambil: syukuran tetap dilaksanakan, namun dengan konsep sederhana---menu makanan khas daerah dan dekorasi seadanya.
Dua hari kemudian, tibalah hari syukuran. Ruang rapat disulap menjadi tempat perjamuan sederhana. Di meja tersaji hidangan nasi gurih dengan aneka lauk yang diatur dengan anggaran hemat: ada tomat hijau, bawang gongso, cengek, dan serundeng. Lauk-lauknya sederhana namun menggugah selera: ayam suwir, orek tempe, telur barendo, pampis ikan, dan sayur daun ketela campur kecombrang.
Aku menyapa Pak Joko sambil mencicipi nasi gurih itu. "Wah, Pak Joko, akhirnya jadi juga ya acara ini. Dan ternyata meriah juga!"
Pak Joko tersenyum lega, bangga akan keberhasilan tim panitia menggelar acara sederhana namun berkesan.
Namun, suasana mendadak berubah ketika beberapa mahasiswa tiba-tiba muncul di pintu ruangan. Mereka terlihat canggung, namun tampak juga sedikit kecewa.
"Pak, Bu... kami dengar ada syukuran untuk Pak Riko. Tapi kenapa kami tidak diajak?" tanya Randi, salah satu mahasiswa aktif yang biasa berinteraksi dengan Pak Riko.
Ruangan hening sejenak. Tidak ada yang bermaksud membatasi kehadiran mahasiswa, namun memang panitia harus menyesuaikan undangan dengan anggaran terbatas.
Pak Joko, dengan ketenangannya, segera mengatasi situasi. "Kami benar-benar tidak bermaksud membatasi siapa yang datang. Hanya saja, anggarannya terbatas. Tapi jika kalian mau ikut, ayo bergabung! Acara ini untuk kita semua."
Wajah mahasiswa itu cerah kembali, dan mereka pun bergabung menikmati hidangan bersama para dosen. Suasana menjadi lebih meriah, dan kehadiran mahasiswa ternyata membawa keceriaan yang semakin melengkapi syukuran hari itu.
Pak Riko akhirnya datang, wajahnya berseri-seri melihat sambutan hangat dari rekan-rekan dosen dan para mahasiswa. Semua kegelisahan awal, konflik, dan perdebatan anggaran seakan terlupakan dalam suasana penuh tawa dan keakraban. Kami berkumpul, mengobrol, dan mengenang perjalanan Pak Riko hingga meraih gelar doktor yang membanggakan ini.
Sore itu, aku menyadari sesuatu: kadang, dalam keterbatasan dan perbedaan pendapat, justru hadir kehangatan yang merangkul kami semua. Syukuran kecil yang sederhana ini menjadi pengingat akan pentingnya kebersamaan di tengah dinamika yang ada.
Dan saat acara mulai bubar, aku beranjak keluar bersama beberapa dosen lainnya, tapi langkahku terhenti. Aku berbalik, menatap ruangan yang sudah sepi, hanya tersisa beberapa piring bekas dan sisa tawa yang masih membekas di udara. Di dalam hati, ada sesuatu yang...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H