Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. REDAKTUR penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan, Hangat, dan Ronde yang Belum Selesai

29 Oktober 2024   13:49 Diperbarui: 29 Oktober 2024   13:57 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wedang Ronde. Foto: Istimewa/food.detik.com

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Di sebuah warung kecil yang berdiri di ujung gang, Pak Tarman dengan setia mengaduk ronde hangatnya. Warung ini tampak sederhana, tapi tak pernah sepi. Aroma jahe, cengkeh, dan manis gula merah yang khas memenuhi udara, berpadu dengan dinginnya hujan yang terus menderai tanpa henti di luar sana.

Sore itu, hujan turun lebih deras dari biasanya. Pelanggan warung yang biasanya datang satu per satu kini datang berbondong, mencari kehangatan di tengah dinginnya cuaca. Namun, seorang gadis kecil tiba-tiba menarik perhatian Pak Tarman. Dengan tubuh yang setengah basah, ia berdiri mematung di depan warung, memandang mangkuk-mangkuk ronde dengan tatapan lapar dan cemas.

"Hey, Dek! Masuk, jangan di luar. Dingin nanti sakit," panggil Pak Tarman sambil mengulurkan tangannya mengajak masuk. Gadis kecil itu ragu sejenak, sebelum akhirnya mengangguk perlahan dan melangkah masuk.

Pak Tarman menuangkan ronde hangat ke mangkuk khusus yang berukir sederhana, menambahkan ekstra kacang dan sagu mutiara. Ia tahu, meski tak ada yang mengatakan, gadis itu pasti belum makan. 

Di tengah sibuknya melayani pelanggan lain, Pak Tarman sempat memperhatikan bahwa gadis kecil itu tampak seperti menahan diri. Sesekali ia hanya menghirup aroma minuman tanpa meminum sesendok pun.

Pak Tarman duduk di depannya, meletakkan tangan di atas meja dengan pandangan lembut. "Minum saja, Nak. Tidak usah sungkan. Kalau kau tidak punya uang, nanti bisa kita bicarakan."

Gadis kecil itu akhirnya mengangguk. Dengan pelan, ia menyeruput kuah ronde yang hangat, membiarkan sensasi jahe yang pedas menghangatkan tenggorokannya yang dingin. Di wajahnya, raut lelah perlahan berganti dengan secercah senyum kecil, walau ragu.

"Kamu sering ke sini?" tanya Pak Tarman, mencoba memecah hening. Gadis itu menggeleng, lalu menunduk lagi. Ia menatap rondenya, ragu ingin bicara atau tidak.

Namun, sebelum Pak Tarman bisa mendesak lebih jauh, suara seorang pria terdengar dari luar warung. "Siti! Kau di sini rupanya!" Sosok pria bertubuh besar dengan wajah marah muncul di pintu. Gadis kecil itu langsung menegang, mangkuk di tangannya gemetar.

Pak Tarman menatap pria itu dengan tatapan heran. "Ada apa, Pak? Ini hanya seorang anak yang sedang menikmati ronde."

Pria itu mendengus. "Anak ini selalu kabur dari rumah, Pak! Saya ini ayahnya. Bawa sini!" Ia mencoba meraih gadis kecil itu, tapi gadis tersebut mundur, ketakutan.

"Ayah, aku cuma ingin minum ronde... aku janji akan pulang setelah ini," bisik gadis itu dengan suara bergetar. Namun, sang ayah tidak peduli.

Melihat ketakutan gadis itu, Pak Tarman berdiri dan melindungi tubuh kecilnya. "Dia belum selesai minum. Biarkan dia menyelesaikan dulu, baru kalian bicara." Nadanya pelan namun penuh ketegasan.

Hujan semakin deras di luar. Semua orang di warung terdiam, menyaksikan ketegangan yang mencekam antara Pak Tarman dan pria itu. Udara terasa berat, seperti menggantungkan rahasia yang belum terungkap.

Sambil tetap menjaga gadis kecil itu di belakangnya, Pak Tarman berkata, "Mungkin kita bisa bicara baik-baik, Pak. Saya hanya ingin memastikan dia baik-baik saja." Di sisi lain, tangan gadis itu meremas baju Pak Tarman, seolah memohon agar ia tetap terlindungi.

Hujan deras itu seakan membawa sesuatu yang lebih dari sekedar air. Di antara aroma jahe dan gula merah, ada perasaan cemas, harapan, dan ketidakpastian yang tak bisa dijelaskan. Sesuatu terasa begitu menggantung, menunggu keajaiban yang entah akan datang atau tidak.

Dan dalam sekejap, suara hujan itu menjadi satu-satunya suara yang tersisa, mengisi seluruh warung yang kini terbungkus dalam keheningan yang terasa menggema...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun