Pak Tarman menatap pria itu dengan tatapan heran. "Ada apa, Pak? Ini hanya seorang anak yang sedang menikmati ronde."
Pria itu mendengus. "Anak ini selalu kabur dari rumah, Pak! Saya ini ayahnya. Bawa sini!" Ia mencoba meraih gadis kecil itu, tapi gadis tersebut mundur, ketakutan.
"Ayah, aku cuma ingin minum ronde... aku janji akan pulang setelah ini," bisik gadis itu dengan suara bergetar. Namun, sang ayah tidak peduli.
Melihat ketakutan gadis itu, Pak Tarman berdiri dan melindungi tubuh kecilnya. "Dia belum selesai minum. Biarkan dia menyelesaikan dulu, baru kalian bicara." Nadanya pelan namun penuh ketegasan.
Hujan semakin deras di luar. Semua orang di warung terdiam, menyaksikan ketegangan yang mencekam antara Pak Tarman dan pria itu. Udara terasa berat, seperti menggantungkan rahasia yang belum terungkap.
Sambil tetap menjaga gadis kecil itu di belakangnya, Pak Tarman berkata, "Mungkin kita bisa bicara baik-baik, Pak. Saya hanya ingin memastikan dia baik-baik saja." Di sisi lain, tangan gadis itu meremas baju Pak Tarman, seolah memohon agar ia tetap terlindungi.
Hujan deras itu seakan membawa sesuatu yang lebih dari sekedar air. Di antara aroma jahe dan gula merah, ada perasaan cemas, harapan, dan ketidakpastian yang tak bisa dijelaskan. Sesuatu terasa begitu menggantung, menunggu keajaiban yang entah akan datang atau tidak.
Dan dalam sekejap, suara hujan itu menjadi satu-satunya suara yang tersisa, mengisi seluruh warung yang kini terbungkus dalam keheningan yang terasa menggema...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H