Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Merdeka, Mengapa Sudah Saatnya Berhenti dan Beralih ke Pendekatan yang Lebih Tepat?

27 Oktober 2024   17:14 Diperbarui: 27 Oktober 2024   17:33 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo resmi Tut Wuri Handayani dari kemendikbud.com

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Mengawali artikel ini, penulis ingin mengirim ucapan selamat datang kepada yang mulia cahaya terang Pendidikan Indonesia: Bapak Prof. Abdul Mu'ti sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Bapak Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, serta Bapak Dr. Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan.

Bahwa pada awalnya, Kurikulum Merdeka diperkenalkan sebagai langkah inovatif untuk menjadikan pendidikan Indonesia lebih fleksibel dan adaptif terhadap perkembangan zaman, dengan memberikan keleluasaan bagi guru dan sekolah dalam menentukan metode pembelajaran.

Meskipun kesan kulitnya progresif, sejumlah permasalahan fundamental dan dampak negatif yang mendalam justru membuat kebijakan ini layak ditinjau ulang, atau bahkan dihentikan.

Berikut beberapa alasan utama mengapa Kurikulum Merdeka perlu dievaluasi serius.

  1. Efektivitas yang Tidak Terbukti Secara Signifikan
    Kurikulum Merdeka dipuji karena dianggap meningkatkan skor siswa, seperti data UTBK 2024 yang menunjukkan kenaikan skor bagi siswa SMK yang mengikuti kurikulum ini dibandingkan dengan Kurikulum 2013.

Namun, peningkatan skor tersebut tipis dan tidak cukup signifikan untuk menyimpulkan bahwa Kurikulum Merdeka berdampak substantif pada kualitas akademik siswa.

Meskipun ada peningkatan skor UTBK, data ini saja tidak cukup untuk menyimpulkan keberhasilan kurikulum secara keseluruhan.

Jika tidak ada perbedaan hasil yang nyata, apakah layak meneruskan kurikulum ini? Belum lagi bagaimana dengan keadaan di PT, SMA, SMP, MTs, SD, MI, dengan segala variasinya, kota-desa, negeri-swasta, dsb.

Dalam kajian efektivitas kurikulum, data peningkatan akademik harus diuji secara longitudinal untuk melihat dampak berkelanjutan terhadap pembelajaran siswa.

Menurut teori evaluasi program pendidikan oleh Scriven (1991), perubahan kurikulum harus diukur dengan memperhatikan berbagai variabel, seperti keterlibatan siswa, metode pembelajaran, dan perbaikan kemampuan literasi serta numerasi.

Tanpa data jangka panjang yang komprehensif, klaim efektivitas Kurikulum Merdeka menjadi kurang meyakinkan.

  1. Kesiapan Guru dan Infrastruktur yang Jauh dari Memadai
    Lebih jauh lagi, tantangan ini diperparah oleh masalah kesiapan guru dan infrastruktur yang tidak memadai, yang berdampak langsung pada implementasi kurikulum.

Penerapan Kurikulum Merdeka menunjukkan masalah besar dalam kesiapan dan kesenjangan infrastruktur antar sekolah. Banyak guru di wilayah-wilayah terpencil mengalami kesulitan memahami dan menerapkan pendekatan baru ini karena minimnya pelatihan, terbatasnya akses teknologi, dan kurangnya fasilitas pendukung.

Data dari Laporan Pendidikan Nasional Indonesia (Kemdikbudristek, 2023) menunjukkan bahwa hanya 30% sekolah di daerah terpencil yang memiliki akses teknologi dan fasilitas pendukung yang memadai.

Menurut teori change management oleh Kotter (1996), perubahan dalam sistem pendidikan hanya akan berhasil jika didukung oleh kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia yang memadai.

Tanpa kesiapan ini, kesenjangan antar sekolah hanya akan semakin melebar.

  1. Menurunnya Standar Pendidikan Nasional
    Kondisi ini tidak hanya berimbas pada efektivitas pengajaran, tetapi juga berpotensi menurunkan standar pendidikan nasional secara keseluruhan.

Memberikan kebebasan penuh kepada guru dan sekolah dalam menentukan metode serta isi pembelajaran berdampak pada konsistensi standar pendidikan nasional.

Kurikulum Merdeka yang menekankan fleksibilitas menciptakan variasi yang besar dalam kualitas pendidikan antar sekolah. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan yang berpotensi sulit diperbaiki dan mengancam kualitas sumber daya manusia di masa mendatang.

Menurut teori Vygotsky tentang zone of proximal development, perkembangan pendidikan yang ideal memerlukan panduan dan standar yang konsisten untuk memastikan bahwa setiap siswa, terlepas dari latar belakang sekolah, memiliki akses yang sama terhadap materi dan metode pembelajaran yang berkualitas.

Kurikulum yang terlalu fleksibel tanpa kerangka standar dapat menurunkan kualitas SDM secara keseluruhan, mengingat perbedaan besar dalam pengalaman dan kapabilitas guru di seluruh daerah.

  1. Mengabaikan Realitas Kelas di Indonesia
    Selain itu, pendekatan yang diterapkan dalam Kurikulum Merdeka kurang memperhatikan realitas kelas di Indonesia, yang mengakibatkan kesenjangan dalam praktik pembelajaran.

Pendekatan Student Centered Learning (SCL), pilar utama Kurikulum Merdeka, adalah konsep populer di dunia pendidikan global. Namun, apakah ini relevan dalam konteks Indonesia? Di sekolah negeri yang memiliki jumlah siswa besar per kelas, penerapan SCL menjadi tidak realistis.

Data dari Kemdikbudristek (2023) menunjukkan bahwa di sekolah negeri, rasio siswa terhadap guru masih berkisar 1:40, jauh di atas standar UNESCO yang idealnya 1:20 untuk pembelajaran efektif.

Menurut penelitian oleh Barber dan Mourshed (2007), keberhasilan metode SCL bergantung pada interaksi intensif antara guru dan siswa, yang membutuhkan rasio guru-murid yang rendah.

Tanpa dukungan yang memadai, pendekatan ini malah menambah beban guru dan mengurangi efektivitas pembelajaran.

  1. Validasi Eksternal yang Tidak Selaras dengan Realitas Nasional
    Mengingat semua permasalahan yang telah dibahas, penting untuk mengevaluasi kembali tujuan dan dampak dari Kurikulum Merdeka dalam konteks pendidikan nasional.

Kurikulum Merdeka mendapatkan pujian dari Direktur OECD dalam podcast Kemendikbud, tetapi keberhasilan kurikulum seharusnya diukur dari dampaknya di lapangan, bukan sekadar apresiasi pihak asing.

Ketergantungan pada validasi eksternal yang tidak memahami kompleksitas pendidikan di Indonesia menunjukkan fokus yang lebih pada citra global ketimbang pemenuhan kebutuhan nyata siswa di dalam negeri.

Menurut teori konstruktivisme sosial oleh Lev Vygotsky, pendidikan seharusnya mengakar pada budaya dan konteks sosial siswa, yang mana keberhasilan kurikulum perlu diukur dengan mempertimbangkan faktor budaya, sosial, dan ekonomi lokal.

Kesimpulan

Mengingat belum memadainya bukti efektivitas, kesiapan infrastruktur dan tenaga pendidik, serta ketidakcocokan dengan kondisi sosial-budaya Indonesia, Kurikulum Merdeka dengan segala program ikutannya sebaiknya dihentikan secepatnya sebelum terlalu jauh berbuah mudharat ketimbang manfaat.

Pendidikan Indonesia lebih baik kembali pada pendekatan yang terstruktur, merata, dan sesuai konteks nasional yang lebih relevan dan efektif untuk diterapkan pada kondisi pendidikan Indonesia saat ini, sebagaimana esensi pesan Jusuf Kalla ketika kritisi Nadiem Makariem 7 September 2024 yang lalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun