Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Merdeka, Mengapa Sudah Saatnya Berhenti dan Beralih ke Pendekatan yang Lebih Tepat?

27 Oktober 2024   17:14 Diperbarui: 27 Oktober 2024   17:33 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo resmi Tut Wuri Handayani dari kemendikbud.com

Tanpa data jangka panjang yang komprehensif, klaim efektivitas Kurikulum Merdeka menjadi kurang meyakinkan.

  1. Kesiapan Guru dan Infrastruktur yang Jauh dari Memadai
    Lebih jauh lagi, tantangan ini diperparah oleh masalah kesiapan guru dan infrastruktur yang tidak memadai, yang berdampak langsung pada implementasi kurikulum.

Penerapan Kurikulum Merdeka menunjukkan masalah besar dalam kesiapan dan kesenjangan infrastruktur antar sekolah. Banyak guru di wilayah-wilayah terpencil mengalami kesulitan memahami dan menerapkan pendekatan baru ini karena minimnya pelatihan, terbatasnya akses teknologi, dan kurangnya fasilitas pendukung.

Data dari Laporan Pendidikan Nasional Indonesia (Kemdikbudristek, 2023) menunjukkan bahwa hanya 30% sekolah di daerah terpencil yang memiliki akses teknologi dan fasilitas pendukung yang memadai.

Menurut teori change management oleh Kotter (1996), perubahan dalam sistem pendidikan hanya akan berhasil jika didukung oleh kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia yang memadai.

Tanpa kesiapan ini, kesenjangan antar sekolah hanya akan semakin melebar.

  1. Menurunnya Standar Pendidikan Nasional
    Kondisi ini tidak hanya berimbas pada efektivitas pengajaran, tetapi juga berpotensi menurunkan standar pendidikan nasional secara keseluruhan.

Memberikan kebebasan penuh kepada guru dan sekolah dalam menentukan metode serta isi pembelajaran berdampak pada konsistensi standar pendidikan nasional.

Kurikulum Merdeka yang menekankan fleksibilitas menciptakan variasi yang besar dalam kualitas pendidikan antar sekolah. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan yang berpotensi sulit diperbaiki dan mengancam kualitas sumber daya manusia di masa mendatang.

Menurut teori Vygotsky tentang zone of proximal development, perkembangan pendidikan yang ideal memerlukan panduan dan standar yang konsisten untuk memastikan bahwa setiap siswa, terlepas dari latar belakang sekolah, memiliki akses yang sama terhadap materi dan metode pembelajaran yang berkualitas.

Kurikulum yang terlalu fleksibel tanpa kerangka standar dapat menurunkan kualitas SDM secara keseluruhan, mengingat perbedaan besar dalam pengalaman dan kapabilitas guru di seluruh daerah.

  1. Mengabaikan Realitas Kelas di Indonesia
    Selain itu, pendekatan yang diterapkan dalam Kurikulum Merdeka kurang memperhatikan realitas kelas di Indonesia, yang mengakibatkan kesenjangan dalam praktik pembelajaran.

Pendekatan Student Centered Learning (SCL), pilar utama Kurikulum Merdeka, adalah konsep populer di dunia pendidikan global. Namun, apakah ini relevan dalam konteks Indonesia? Di sekolah negeri yang memiliki jumlah siswa besar per kelas, penerapan SCL menjadi tidak realistis.

Data dari Kemdikbudristek (2023) menunjukkan bahwa di sekolah negeri, rasio siswa terhadap guru masih berkisar 1:40, jauh di atas standar UNESCO yang idealnya 1:20 untuk pembelajaran efektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun