OLEH: Khoeri Abdul Muid
Jleb! Terhunjam terenyuh hati Silo, usai membaca deret berita sahih akan nasib Pak Guru Budi.
"Ponco! Ayo! Sepulang kerja, langsung tancap gas ke Madura. Layat Pak Guru Budi!" sms ber- pentung tiga sekaligus.Â
Ponco paham. Silo sangat serius.
"Siap!!!" jawab Ponco, juga bertiga tanda seru!
Ponco-Silo?
Ya. Soal nasib. Meski bagai langit- bumi. Ponco dan Silo merupakan teman berkelindan. Teman sinorowedi. Teman securahan hati.
Berlatarbelakang yang lain. Pendidikan Ponco mandeg sampai jenjang SMA. Sementara Silo berkesempatan mengenyam ilmu di IKIP Yogyakarta hingga S-3.
Beruntung mereka bekerja dalam lingkungan yang sama. Silo meskipun masih muda sudah dipercaya menjadi asisten Bupati. Sementara Ponco, pasukan Satpol PP. Sehingga hampir saban hari pasca-bekerja. Ponco dan Silo mengistiqomahkan kebiasaan lama. Kongko-kongko. Ngopi-ngopi. Tapi no smoking.
Sebenarnya, saat di SD, rangking Ponco lebih baik dari Silo. Sehingga meski senjang taraf pendidikannya, tapi Ponco mampu mengimbangi Silo saat bergulat pikir dalam 'guyon maton' mereka.
Ya. Mereka sering berdiskusi soal apa saja. Se-mood mereka.
Asiknya, dua-duanya hoby membaca buku-buku tebal dan menulis di blog Gurusiana.
Jleb!
Begitu pintu mobil ditutup dan Silo tancap gas. Dua jomblo ganteng itu irit bahkan hampir puasa bicara. Perasaan prihatin dan marah tampak membuncah mengaduk jiwanya.
"Ini bukan peristiwa biasa.Ini Budi Great!" teriak bathin mereka.
Persis menjelang maghrib yang sepi. Panther Turbo hitam berteknologi GPS itu terhenti di mulut gapura makam. Â Mereka bergegas turun. Menuju gunduk kuburan Pak Guru Budi yang masih gampang dikenal. Berjongkok. Dan, khusuk mendo'a.
Usai beritual spiritual sholat maghrib di mushola makam, Ponco-Silo balik mengikuti jejak taburan bunga yang diyakininya pasti menuju rumah duka.
Ya. benar. Di suatu rumah sederhana sudah terkumpul seratusan lebih para peserta tahlilan. Ponco-Silo disambut ramah perwakilian keluarga, lantaran istri Pak Guru Budi masih shock. Ponco-Silo menyampaikan rasa bela sungkawa. Mendo'a agar keluarga yang ditinggalkan, terutama istri Pak Guru Budi yang saat ini sedang mengandung bayi 4 bulan, diberi ketabahan luar biasa. Lalu bergegas pamit. Sembari menyampaikan uang tali asih sekedarnya yang dibungkusnya amplop, merakapun bersalaman dengan keluarga dan beberapa tamu disekitarnya.
Begitu membuka pintu dan masuk mobil. Air mata Ponco-Silo yang sedari tadi dibendungnya. Mulai berkaca-kaca dan meleleh. Jleb! Seturut saat pedal pacu diinjak perlahan Ponco. Lambai tangan diayun-ayun, da-da. Maka derai pembersih lensa indra penglihat itupun berderai-derai jatuh di baju putih mereka.
Sebuah perjumpaan singkat. Tapi memorinya merekam tajam rasa seperasaannya, yakni  rasa prihatin dan marah dari empati keluarga dan para tamu!
Sama. Perjalanan pulang itupun bisu. Selepas jembatan Suramadu, tiba-tiba Ponco tiba-tiba menginjak pedal rem dan menepi di sebangun kedai kopi.
"Kita ngopi dulu, Mas"
"Hmm!" isyarat setuju Silo.
 Merekapun ambil posisi lesehan di pojok yang bersudut pandang Surabaya malam yang megah. Saat itu belum terlalu ramai pembeli. Sehingga dua gelas kopi hitam dan pisang godog favorit mereka pun tersuguh.
"Kata Pak Kiyai. Ikhlaskan takdir yang terjadi. Tapi manusiawi, bila itu perlu proses. Wajar jika rasa prihatin dan marah itu ada, Co."
"Prihatinnya jelas, Mas. Kepada kejadian itu. Tapi marahnya kepada apa? Kepada siapa? Kepada Holili itu, Mas?"
"Ya, sama. Kepada kejadian itu, Co. La, sal bocah bengah si MH itu kan sudah ada mekanisme hukumnya.". Â Â
"Maksudnya, Mas?'
"Yang kupikirkan, Co. Kenapa harus terjadi disharmoni antara Guru dan Murid? Bukankah sekolah merupakan wahana persemaian nilai-nilai akhlaqul karimah. Dan, kawah candradimuka pemanusiaan manusia muda, Co?"
"Karena itulah, Mas. Disharmoni itu harus diminimalisir. Tapi, caranya bagaimana?"
"Gini, Co. Dahulu, pola hubungan murid-guru, bahkan juga dengan wali murid masih bercorak informal (kekeluargaan). Dengan budaya yang menempatkan profesi guru sebagai berwibawa. Sedangkan kini?"
"Ya. Aku tahu, Mas. Di tengah euphoria demokrasi. Maka pola hubungan tersebut telah cenderung bergeser menjadi hubungan formal kan, Mas?"
"Itulah, Co. Seolah-olah, keadaan berkata, Anda terima bayar maka wajar saja dunk Anda harus mengeluarkan jasa?! Dan, karenanya, sampailah pada gilirannya, terminology wibawa (tawadu') dalam pola hubungan Murid-Guru nyaris sirna. Sehingga terpiculah disharmoni itu."
"Solusinya, Mas?"
"Saya berpikir, dalam tata kemasyarakatan yang makin 'modern' demikian. Tampaknya di dunia persekolahanpun sudah waktunya diperlukan norma yang makin rigid (ketat). Misalnya, menetapkan secara gamblang, batas-batas ganjaran dan hukuman dalam dunia persekolahan yang dihalalkan oleh hukum. Tentu demi kepentingan pendidikan, Co."
"Konkritnya, Mas?"
"Ibarat dalam dunia kedokteran, Co. Telah rigid diatur, pada saat mana dokter bisa membelah perut orang, menggergaji tengkorak orang tapi tak dihukum. Karena motifnya hendak mengambil penyakitnya. Sehingga dalam konteks pola hubungan persekolahan yang makin ekual ini. Pada satu sisi orang akan makin bisa mengekspresikan perasaan ekualitasnya. Tapi pada sisi lain makin juga dididik, bisa saling menghormati hak dan kewajiban orang lain."
"O ya, Mas. Dengan begitu orang akan menghormati kewibawaan guru bukan lagi karena jabatannya. Tetapi oleh sebab keprofesionalan dalam menjalankan jabatan gurunya tersebut ya to, Mas?"
"100, Co!"
"Tapi, Mas! KUHP kita kan sudah mengatur soal pengroyokan, penganiayaan dsb. Bahkan dalam kasus Pak Guru Budi ini, polisi akan menerapkan pasal 351 Ayat 3 tentang penganiayaan yang mengakibatkan matinya seseorang, dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara. Pun telah ada UU Guru, di samping ada UU Perlindungan Anak?"
"Benar, Co. Tapi dengan infrastruktur hukum itu saja. Masih belum bisa maksimal melindungi profesi guru. Begitupun sebaliknya. Belum bisa melindungi murid yang notabene buah hati, dalam kaca mata orangtua--- dari kekerasan oknum guru atau murid lainnya. Bukankah begitu, Co. intinya, Co. Saya sangat mengutuk sekeras-kerasnya kekerasan illegal, Co!"
"Emangnya ada kekerasan yang legal, Mas?
"Brimob ketika menembak tereksekusi hukuman mati kan kekerasan legal to, Co?"
"O iya ya. Kalau gitu saya idem, Mas. Mengutuk! Mengutuk kera!" teriak Ponco disusul menyeruput kopi sisa terakhir di cangkirnya.*
---sanggar CSP [cah sor pring]---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H