"Kita ngopi dulu, Mas"
"Hmm!" isyarat setuju Silo.
 Merekapun ambil posisi lesehan di pojok yang bersudut pandang Surabaya malam yang megah. Saat itu belum terlalu ramai pembeli. Sehingga dua gelas kopi hitam dan pisang godog favorit mereka pun tersuguh.
"Kata Pak Kiyai. Ikhlaskan takdir yang terjadi. Tapi manusiawi, bila itu perlu proses. Wajar jika rasa prihatin dan marah itu ada, Co."
"Prihatinnya jelas, Mas. Kepada kejadian itu. Tapi marahnya kepada apa? Kepada siapa? Kepada Holili itu, Mas?"
"Ya, sama. Kepada kejadian itu, Co. La, sal bocah bengah si MH itu kan sudah ada mekanisme hukumnya.". Â Â
"Maksudnya, Mas?'
"Yang kupikirkan, Co. Kenapa harus terjadi disharmoni antara Guru dan Murid? Bukankah sekolah merupakan wahana persemaian nilai-nilai akhlaqul karimah. Dan, kawah candradimuka pemanusiaan manusia muda, Co?"
"Karena itulah, Mas. Disharmoni itu harus diminimalisir. Tapi, caranya bagaimana?"
"Gini, Co. Dahulu, pola hubungan murid-guru, bahkan juga dengan wali murid masih bercorak informal (kekeluargaan). Dengan budaya yang menempatkan profesi guru sebagai berwibawa. Sedangkan kini?"
"Ya. Aku tahu, Mas. Di tengah euphoria demokrasi. Maka pola hubungan tersebut telah cenderung bergeser menjadi hubungan formal kan, Mas?"