Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Arwah yang Terperangkap

1 Oktober 2024   21:50 Diperbarui: 1 Oktober 2024   23:09 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
shutterstock.com/vitalez

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Di sebuah sekolah boarding yang terletak di pinggiran kota, aku, seorang guru baru, mendapatkan rumah dinas yang lebih besar dari teman-teman seletingku. Kabar itu datang dengan bisikan dan tatapan cemas dari guru senior.

"Rumah itu adalah jatah wakil kepala sekolah," ucap Bu Rina dengan suara bergetar. "Tapi tidak ada yang mau menempatinya."

"Kenapa?" tanyaku, berusaha mengabaikan perasaan aneh yang mulai menjalar.

"Karena rumah itu ada hantunya," Pak Joko menambahkan dengan nada serius. "Pak Wakil lebih memilih rumah dinas guru yang lebih kecil. Katanya, di sana sering terdengar suara tangisan dan terlihat bayangan."

"Masa sih? Cuma cerita lama, Bu," jawabku, berusaha tersenyum meski jantungku berdegup kencang. Tapi saat aku mendengar bahwa rumah itu dekat dengan gudang koper---tempat yang konon digunakan siswa untuk menggantungkan diri---kecemasan mulai menggerogoti pikiranku.

Akhirnya, dengan tekad bulat, aku memutuskan untuk menempati rumah itu setelah menerima surat perintah. Saat pertama kali melangkah ke dalam rumah Z15, suasana dingin menyelimuti. Dinding-dindingnya berwarna kusam, dan aroma lembap menggantung di udara.

"Sangat besar, ya?" Dika, temanku, berkomentar dengan nada bercanda. "Semoga kamu tidak mengundang arwah penasaran."

"Ha ha, sangat lucu," balasku, tapi senyumku tak sampai di mata.

Malam itu, setelah sholat Isyak, teman-temanku pamit pulang. "Ingat, jangan sendirian, ya!" Rina berpesan, wajahnya terlihat khawatir.

"Tenang saja, aku akan baik-baik saja," jawabku, meski perutku terasa mual.

Setelah mereka pergi, suasana menjadi sunyi. Dalam ketenangan malam, aku mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Lampu kamar berkedip, dan bayangan-bayangan kecil menari di dinding. Hatiku berdebar kencang. "Hanya imajinasiku," kataku berusaha menenangkan diri.

Namun, saat terlelap, suasana tiba-tiba berubah. Aku merasa ada sesuatu yang mendekat, sosok tinggi besar dengan bayangan menyerupai gorila. Suara beratnya menggema di telingaku, seolah mengguncang jiwaku.

"Tolong... siapa itu?" tanyaku dalam hati, tetapi tak ada jawaban.

Tangan besar dan berkuku itu mulai meremas lenganku. Rasanya seperti belati yang menusuk. "Ayo, bangun! Siapa pun kamu, pergi!" teriakku dalam pikiran, tapi tubuhku tak bisa bergerak.

Dalam kepanikan, aku berusaha membaca lafadz Allah, tetapi mulutku terasa kaku. "Ya Allah, berikan aku kekuatan..." Dalam ketakutan yang melumpuhkan, hatiku bertekad, "Aku tidak akan kalah!"

Rasa sakit itu semakin menjadi. Dengan segala upaya, aku memanggil nama-Nya, "Lafadz Allah..." Suaraku bergetar, terpaksa melawan ketakutan. Perlahan, cengkeraman kuku makhluk itu mulai melonggar.

Saat sosok itu menarik diri, aku bisa melihat sekilas wajahnya---matanya hitam pekat, kosong, dan penuh amarah. Rasanya seperti ditusuk oleh pandangannya. "Jangan pergi... tolong," desahku pelan, terjaga dari ketakutan.

Saat makhluk itu mundur, hembusan angin dingin menghempaskanku kembali ke ranjang. Dengan sekali tatap, aku merasakan kehadirannya semakin menjauh, tetapi bukan tanpa meninggalkan jejak.

Sejak malam itu, setiap kali aku tertidur, aku merasa ada yang mengawasi. Teriakan samar, tangisan, dan bisikan nama-nama siswa yang hilang sering menggangguku. "Jangan... tolong... selamatkan kami..." bisikan itu selalu menggema di telingaku saat malam larut.

"Ini semua hanya imajinasiku," kataku berusaha menenangkan diri, tetapi ketakutan terus menggerogoti. Suatu malam, aku memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang rumah ini. Dengan berani, aku menjelajahi sudut-sudutnya yang gelap. Di dalam lemari tua, aku menemukan buku harian milik wakil kepala sekolah sebelumnya.

Dalam buku itu tertulis kisah-kisah mengerikan tentang siswa-siswa yang pernah tinggal di sekolah ini. "Kami tidak bisa melanjutkan... kami terjebak dalam kegelapan..." Aku membaca dengan mata membelalak, semakin merinding saat mendapati bahwa setiap nama adalah nama siswa yang hilang.

Saat aku menutup buku itu, lampu tiba-tiba padam, dan suara tawa melengking memenuhi ruangan. "Kami tidak bisa pergi," terdengar suara anak-anak yang penuh kesedihan.

Ketika aku berusaha melarikan diri, bayangan gelap itu muncul lagi, kali ini lebih dekat. "Kau yang baru, kau harus membantu kami," suara itu memanggil.

"Aku tidak bisa, aku tidak punya kekuatan!" aku berteriak, tetapi suaraku hanya menggema dalam kegelapan.

Satu hal yang jelas, aku harus menghadapi ketakutanku dan mencari cara untuk mengakhiri kutukan yang menimpa rumah Z15. Dalam kesunyian malam itu, aku bertekad untuk membebaskan arwah-arwah yang terjebak, atau aku akan menjadi salah satu dari mereka.

Kini, rumah itu bukan hanya sekadar tempat tinggal. Ia menjadi medan pertempuran antara hidup dan mati, antara harapan dan ketakutan. Dan aku, guru baru di rumah Z15, harus berjuang untuk selamat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun